28 Tahun

Achmad Hidayat Alsair
2 min readAug 30, 2023

--

(Unsplash.com/Ashabul Kahfi)

Harusnya saya menulis ini sejak Mei lalu, saat usia dan beban pikiran bertambah. Tiba di paruh akhir masa adolesens, isi kepala justru lebih ramai dari karnival paling riuh milik Pantai Ipanema. Selain itu, puting beliung di Maros selalu mengaduk-aduk lambung pukul 8 pagi. Sengatan matahari dan kemacetan sudah jadi makanan sehari-hari, terlebih saya tidak lagi menikmati kemewahan bernama work from home. Akhirnya, saya mulai bekerja dari kantor untuk pertama kalinya sejak brojol dari kandungan ibu. Entah saya akan merayakan ini atau bersedih sebab setiap tiba di atas kasur, pikiran serta energi sudah menuju dimensi lain.

Di usia 28 tahun, saya mungkin tetap merasa bodoh dengan banyak hal. Benar, dahi laki-laki ini masih tetap mengerut di banyak aktivitas. Semakin sering sakit kepala akibat angka-angka, jurnal bertopik asuhan keperawatan dan berita yang tidak bisa menunggu untuk ditulis. Sepak bola, musik dan konser ternyata tidak lagi semenyenangkan dulu. Semua berubah ribet, njelimet, penuh tipu daya sekaligus fana. Mungkin Batam lebih menyenangkan, tapi untung niat tersebut sudah diurungkan. Bukan rezekinya, kata orang tua. Tapi tentu masih ada pintu-pintu yang menunggu untuk dibuka.

Sekarang saya merasa bahwa diam memang lebih diperlukan daripada banyak berbicara. Tapi kepala ini terlalu ribut, batin tak ubahnya anak Taman Kanak-Kanak sedang darmawisata yang saling sahut. Antusiasme tertahan di ujung lidah, tanda tanya lebih banyak muncul ketika ingin membayangkan hal-hal yang indah. Pandemik COVID-19 menancap di paru-paru dan ingatan terlalu dalam. Efeknya masih ada, mencengkeram dan terpendam. Dua tahun yang menyiksa, air mata saya luruh saat menulis kabar tentang ibu dari dua anak gugur melawan maut mikroskopik yang nyaris membawa kiamat. Mengingatnya saja sudah cukup membuat saya bergetar. Timeskip yang bangsat.

Kata-kata ini diketik ketika mendengar lagu Pancarona milik Barasuara. Yang aneh, meski kuping ini diisi death metal hingga rock progresif, saya tetap merasa sepi. Seorang teman pernah bilang kalau fase jenuh sudah tiba. Katanya normal, untuk seorang anak muda yang sebentar lagi menginjak 30. Selain itu, memandang angkasa dan samudera seperti sesuatu yang sangat jauh. Sebab saya harus rajin menabung untuk sekadar melenggang keluar dari kota ini. Lantas apa yang harus dilakukan? Memang bingung, sih. Tapi sekarang, saya ingin menjelajahi isi pikiran seseorang. Bersamanya, warna merah keluh kesah bisa redup meski sementara.

Jika kamu membaca tulisan ini, bersediakah memberi izin agar aku memetakan segala mood dan mengurai suasana hatimu? Kalau mau, kita bisa melakukannya bersama-sama.

(Makassar, 30 Agustus 2023)

--

--