Sitemap
(Kredit foto : Unsplash.com/Markus Spiske)

30? : Sebuah Refleksi yang Terlalu Ringan

3 min readMay 14, 2025

Saya menulis ini beberapa jam sebelum resmi menjadi 30 tahun dalam catatan milik Disdukcapil. Ternyata otak lebih encer setelah minum teh seduh, ya? Dalam narasi tentang menua yang banyak beredar, ini sudah setengah jalan menuju usia maksimal seorang manusia. Ulang tahun tidak semenarik dulu, pesta sederhana berisi pemberian kado dan bertanya kabar. Pikiran hanya berisi keluhan, jadwal sakit kepala dan pengingat untuk lebih sering berolahraga.

Tiga dekade menambah jejak karbon di planet ketiga tata surya, sebenarnya menjadi dewasa itu tidak pernah masuk dalam opsi. Minim buku panduan, tanpa orang untuk bertukar gagasan dan meraba labirin yang seolah berujung di Land of Oz atau salah satu peron ganjil di semesta Harry Potter. Karena itu, muncullah energi kinetik kemarahan melimpah saat masih remaja, sebelum berubah ke versi yang lebih bingung di pertengahan 20-an.

Sebenarnya kebingungan ini abadi, menjadi proses mencari tahu jati diri yang tak mengenal kata selesai seperti hukuman Sisyphus. Dan dunia kini memasuki era serba tergesa-gesa, bukan tempat yang cocok untuk hah-heh-hoh, atau mencoba menyederhanakan segala kemungkinan. Saya sebenarnya masih anak-anak, terjebak dalam pola pikir bahwa semuanya ini baik-baik saja, terjebak dalam keyakinan naif tentang proses alamiah berjalan dengan santai.

Namun, usia 30 mungkin akan memberi lebih banyak sudut pandang. Akurat? Belum tentu. Empati? Sudah pasti. Alih-alih menjaga sumbu tetap pendek, saya kini berusaha menikmati setiap “insiden kecil menyenangkan” (“happy little accident” menurut penuturan pelukis tengah malam Bob Ross). Telat tiba di kantor karena macet, ketumpahan es teh di warung makan favorit, saat antrian diserobot dengan alasan klise, atau kehabisan sabun mandi di tengah proses membersihkan diri. Mantra yang selalu saya ulangi dalam batin: ya mau gimana lagi, kemudian menghela napas.

Oh iya, saya teringat konsep “Sisyphus yang riang” dari filsuf Albert Camus. Salah seorang dari kita harus berani berpikir bahwa hukuman abadi nyaris berhasil mendorong batu maha berat ke puncak bukit itu dijalaninya dengan senyum alih-alih rasa dongkol. Dalam konteks modern, orang-orang akan berdamai dengan absurditas hidup setelah melakukan proses telaah mendalam. Kesadaran dan penerimaan ternyata memberi kekuatan.

Tapi, saya bukan Sisyphus. Semua kesibukan kerja beberapa kali membuat saya burnout. Saya bukan setengah dewa dan punya otot kawat tulang besi. Saya masih rapuh di dalam, dan selalu berusaha menjadi versi terbaik dari hari kemarin. Tapi, penerimaan sifat getas dan ringkih alih-alih terus menguatkan diri malah membuat saya merasa lega. Saya masih manusia, bukan cyborg seperti Astro Boy, bukan juga nabi boy (minus kena tampar warga).

Di usia 30, saya harus melakukan banyak hal yang lebih menyenangkan. Berlibur ke tempat-tempat asing, mendengar lagu-lagu baru, menonton film-film seru, tersipu-sipu malu saat bersama orang yang ditaksir, membaca buku-buku berkualitas, menulis banyak hal kesukaan, dan mengurangi interaksi yang mengandung dosis goyang stecu berlebihan.

Ah, tulisan ini kebanyakan referensi ternyata. Saatnya mencari koyo untuk punggung, saya sudah duduk terlalu lama.

(Makassar, 14 Mei 2025)

--

--

Achmad Hidayat Alsair
Achmad Hidayat Alsair

Written by Achmad Hidayat Alsair

Percaya bahwa tidur siang lebih berguna daripada begadang.

No responses yet