Berita Duka Berskala Besar, Karantina (Puisi-puisi di KalaLiterasi, Minggu 10 Mei 2020)
Ada sembilan puisi saya yang kali ini dimuat di kanal “Puisi” situs literasi yang dikelola oleh Paradigma Institute Makassar, KalaLiterasi.com, Minggu 10 Mei 2020. Tautan menuju artikel : https://kalaliterasi.com/2020/05/10/berita-duka-berskala-besar-dan-puisi-puisi-lainnya/. Berikut salinan seluruh puisi tersebut.
______________________________
Berita Duka Berskala Besar
jalan-jalan hari ini
kepayahan menangisi obituari,
dan jendela rumah sakit
terdengar malaikat maut nyanyi lagu nina bobo
sedu sedan, iramanya adalah sesak napas
dan negara mulai berpikir
“apakah grafik akan mencapai orbit Palapa?”
merah putih kelabu
hijau muda berubah biru
amboi, bahkan tangis gitar B.B. King
kepayahan tiap jam 4 sore Waktu Indonesia Barat
seorang juru bicara pemerintah selalu mengingatkan
“jangan mudik,
kami belum siap memberi kursus cara menjadi kenangan”
jangan baca sajak ini sebagai pengantar berita
berbuka saja dulu, sebab yang cemas
belum bisa berpuasa
(Makassar, 29 April 2020)
______________________________
Karantina
Seseorang pernah retak telinganya demi satu musim
di mana anginnya bertugas meredam ingatan pada ratusan obituari
Aku berdiri, memperhatikan bahwa masker kadang terlalu terang
dan luas untuk saku baju meski dadaku susut sekali lagi
Besok pemerintah akan memuji-muji matahari, sebagai penangkal wabah
yang bekerja setiap hari sekali agar ibukota tetap waras saat mendongak
Padahal dua bulan lalu, penduduk masih terkepung berita basi
di mana seorang bocah mengaku hafal nama nabi-nabi baru yang tertera di kertas suara
Tiba-tiba aku amat mengenal orang-orang yang kini berubah menjadi angka
berkat laporan harian, buku-buku lusuh dan daftar putar memuakkan
Di satu tugu kurus, aku ingin mampir meminta satu sakit kepala
dan suara lemah menjawab : “Pergilah ke rumah sakit kemudian bercanda di sana”
Kini orang-orang ingin menjadi waktu atau sebotol bir
atau datang dengan cara berlari paling kanak-kanak ke pelukanmu
Benar, maut telah melampaui langit dan malas kembali sederhana,
kembali kuingat pertanyaan Ibu : “Kapan kita mau mendengar?”
(Makassar, 2020)
______________________________
Pemadam Kebakaran
Sepasang mata merah padam yang ruwet
menyimak sisa-sisa rahasia langit
dan lupa bahwa tubuh tua menggigil
tertanam di mulut sebuah gang sempit,
memeluk Bumi yang pernah menjadi ibunya
Berita sabana kena obrak-abrik petir saban hari
masih menyuplai sesak tulang dada
setia bak raung nama sakit paru-paru terkenal
yang disambut dengan kematian di ujung ranjang,
mimpi mereka tenggelam sebagai terapi kejut
Gelap desak-desakan dari jejeran lampu neon
sebelum nyala untuk satu peraturan goblok
belum sudi kita kenang, hina dina
maka jadilah tanda tanya yang sibuk
saat kamarku mulai memantulkan api
(Makassar, 2017–2020)
______________________________
Tetap Bakudapa
Sajak-sajak cinta terbakar tepat tengah malam
“jangan bangun” kau telah berhenti dari permainan ini
Sepakat perihal waktu mandi mesra berikutnya
pandai meralat diri sendiri di kalender, namun aku masih buta
menganggap seprei merah muda itu adalah ibumu
Engkau jelita dalam bahasa yang baru tercipta tadi pagi
tetaplah menari hingga langkahmu menyentuh warna keramat
di atap-atap kalimat, aku selalu terlambat bekerja
mencatat puluhan kenyataan yang ingin menjadi bumbu dapur
(penduduk kota mengaku lebih beragama di meja makan dan kantor partai)
“Jubah menangis dari dinding timur penjara Nusakambangan,”
kiasanmu yang paling puisi selain beberapa pengakuan
bahwa tubuhmu adalah krim stroberi, kecap, arak,
roti isi dan stik daging banteng, mungkin aku
adalah hujan tepung kanji atau anggur gagal panen
(Makassar, 2017–2020)
______________________________
Innuendos
Wanita botak tinggal dalam seluruh mimpi basah
demi melengkapi kamar sebagai pusat kota yang sah
hanya di hari ini, sebagai tanda dari satu sekolah
mencari murid-murid seusai tangis paling meriah
Mereka belajar separuh cerita nilai kejujuran lama
bahwa keimanan pernah tinggal dalam bahasa
sepasang peziarah, mereka mati seperti sedia kala
tanpa warisan hidup karena kampungnya ditelan gempa
Kawanan gagak telah lepas sebagai serenade,
jadi narasumber sesi pameran diam para pengunjung kafe,
kipas angin mengatakan “Aku punya rima : kesatuan Marsose
mungkin berasal dari Balige, Ternate, Sangihe atau Enschede”
Seseorang di sini pernah gagal keguguran karena menjadi ratu
tapi rambutnya berhenti pada sinonim kain beludru
mungkin juga ayunan dayung perahu, kuakui epitaf nyaring milik cintaku
kian padam di puncak terlunak tubuhmu
Wanita botak kini berambut dan pandai berpantun
risalah seratus warna pampasan leluhur lanun,
maka bertandanglah sematan cinderamata merah marun
saat kau utus kelaki-lakianku penuhi ranjang tambun
(Pomalaa, 2017–2018)
______________________________
Nyaris Lekang dari Omong Kosong Hari Ini
Kumpulan sajak terguling bersama kereta api,
muntah diksi, ada juga rima-rima kadaluarsa
milik masa muda yang terlalu lama ditunggu
selama orang tetap mengatakan “penyair telah mendekat!”
Diriku mungkin tanda tanya, jemariku selalu dukacita
tanpa arti meski hanya untuk satu hari
diminta mengurus warna cerah di baju zirah
atau melaporkan berita cuaca telah kembung hujan
Atas nama kenyataan, tegakkan nama jasad-jasad itu
lantaran kini wabah selalu berarti lelaki lugu batuk hebat,
bocah-bocah sarapan orang tuanya, dan negara menjadi hantu
melalui cara paling sederhana dalam berita sore
Atas nama kenyataan, urungkan usaha menjadi dahaga
meski setengah Danau Mawang tetap basah di saku celana,
tetanggaku pernah berfirasat jasadnya akan selalu terjaga
menunggu kitab kebenaran semesta menjadi agama rahasia
(mungkin sudah terjadi dan entah siapa dia)
Atas nama kenyataan, ingatlah bahwa perut bisa membaca
kebebasan dalam sepotong kue kering, setoples garam,
bahkan kuning telur jika bercampur dengan pecahan batu kali,
sesekali dengarlah mereka kegirangan meminta usus buntu
(mungkin sudah sampai, dan entah mereka dari mana)
Kumpulan sajak jarang patuh kepada waktu,
pengawas jalannya sandiwara penuh bayonet,
luka dari pergumulan menunggu secarik kertas
tapi kali ini harus terurai menjadi diriku sendiri
(mungkin sudah selesai, dan entah kenapa kepalaku)
(Pomalaa-Makassar, 2017–2020)
______________________________
Menyimak Sulap David Copperfield
Sesungguhnya terbang adalah bahasa santun
lagi purba, rumah-rumah liar di kaki langit
adalah tempat kembali selain pesta abadi
antrian bangsa arwah yang meminjam nirwana,
entah kenapa kartu pas berupa lagu jazz
kerap tertukar dengan kata terakhir Caesar
(“Bukan begitu, Brutus?”)
Panggung adalah bumiku, keturunanku, tarianku,
kadang pengantinku yang acap ragu-ragu,
lahirlah mantera lugu milik remaja tanggung
usai simpuh atas nama leluhur para kelinci
pajangan toko topi, tabungan ayunan tongkat
jelas berguna di hadapan petugas karcis
(Makassar, 2017–2018)
______________________________
Magnitudo
Semua menjadi kiasan dalam percakapan, termasuk wabah
yang kini abadi dalam warna plastik sembako, foto atau tenda pengap
(tetap ada tempat-tempat yang harusnya disebut belakangan)
kita urung pulang sebelum mengerti kebaikan ambulans
atau muncul dalam berita dan jadi menu makan malam terbaru
(ibukota peduli dengan lebih banyak mengirim karangan bunga)
Di jalan lain menuju pantai terlihat lapangan yang basah,
rumah yang basah, peti-peti retak yang selalu basah
(patutlah singgahi hal-hal kecil pengingat pada orang tua)
di akhir tahun, kuiringi doa-doa paling patah dan sabar
pergi menuju tepi langit menunggu tangga diturunkan
(tetanggaku pernah menyebut itu dalam salah satu mati surinya)
Tubuh gemetar tuliskan terima kasih dalam inkarnasi
pembawa nama guna dekam selamanya pada sudut-sudut ingatan
(kaumku lebih mahir melupakan seperti parlemen negara)
bacalah kabar yang minta dikirim melanggar peraturan
atau kadang ucapan salam ketika kau terpaksa jadi tamu
(orang sering mengatakannya sebagai mimpi, maka jadilah firasat)
(Makassar, 2017–2020)
______________________________
Messy
Wabah disinggung dalam notulensi acara debat, pertanyaan memojokkan dari pembaca berita, pidato presiden tentang kenaikan harga, demonstrasi palsu di ibukota, kebakaran rumah, klakson mobil, sirene ambulans, rambu jalan, batang portal, ruang belajar, benteng kuno, museum kuno, pedagang kaki lima, Pantai Losari, Pantai Tanjung Bayang, Pantai Kuri, Pelabuhan Soekarno-Hatta, Bandara Sultan Hasanuddin, Stadion Mattoanging, Taman Macan, Taman Pakui Sayang, rumah-rumah mewah di Tanjung Bunga, Nusantara yang temaram nun menggoda, hotel-hotel sepi, rumah-rumah sepi, loket pembayaran tol, warung-warung makan, kedai-kedai kopi, tempat parkir liar.
Wabah juga menghantui instruksi menggunakan ponsel, buku tamu pernikahan, koran edisi lawas, pesan singkat dosen, antrian pengambilan uang, gedung belum jadi, kamar kost berantakan, iklan laptop bekas, jadwal keberangkatan pesawat, rumah-rumah ibadah, penyambutan mahasiswa baru, lagu baru, kalender baru, baju baru, buku baru, anak baru, rambut baru, pacar baru, yang baru-baru, Barru, Takalar, Luwu Raya, Majene, Soppeng, Enrekang, Sidrap, Maros, Pangkep, Gowa, Sinjai, Pinrang, Jeneponto, Bone, Wajo, Tana Toraja dan tetangganya di utara, Bulukumba, Bantaeng, Selayar, Parepare, Palopo, Makassar, BTP, NTI, BDP, Perumnas, dan warung mana pun yang ada asap rokoknya.
Halo? Apa ada petugas medis dengan APD lengkap di sana?
(Makassar, 2020)