Cerita Seorang Gitaris Blues
Teman, pernahkah kau dengar musik blues? Musik itu tidak sepenuhnya keras karena tersisip kelembutan dan kegundahan di liriknya hingga kujamin bisa akrab di telingamu yang lemah itu. Blues adalah ekspresi kegetiran jiwa para pelakunya. Patah hati ditinggal cinta, pertanyaan kepada Tuhan, masyarakat yang tidak lagi berlaku normal, semua ada dalam keluh kesah musik ini.
Namun hal paling mencolok di lagu-lagu blues adalah lengkingan gitar di sela lirik lirih serak para penyanyi. Menusuk kuping kemudian melucuti dinding jantung. Suara penderitaan paling mistis yang lahir dari jemari-jemari penuh bekas luka sayatan senar. Jika deskripsi ini kau anggap berlebihan, silakan dengar sendiri lagu-lagu blues.
Mengenai gitaris blues, aku kenal seseorang dengan cerita hidup paling menarik yang pernah kutemui. Namanya Pandu, kini berusia kurang lebih 50 tahun, Menikmati masa tua dengan gembira bersama istri dan anak-anaknya. Penampilannya kini berubah banyak, hanya seorang pria lanjut usia dengan badan tambun serta rambut berganti uban. Tapi dia gitaris paling handal di zamannya, merayakan hidup dengan memetik gitar.
Pandu menjadi gitaris setelah menerima kado piano dari ayahnya di ulang tahunnya ke dua belas tahun. Karena piano terlalu membingungkan — belajar nada dan tangga not dan sebagainya — maka Pandu memutuskan menjual piano dan hasilnya dipakai membeli gitar elektrik lengkap dengan loudspeaker. Ayahnya hanya bisa mengelus dada mengetahui hal ini. Sayang sekali gitar malah membuat Pandu kuliah setengah hati.
Di awal karir, dia dikenal tidak bisa betah berlama-lama di sebuah band sebab permainannya yang terlampau menyedot atensi penonton. Hasil latihan otodidak di kandang ayam setelah adzan Isya. Tentu saja ini melanggar hukum alam sebab dalam sebuah kumpulan musisi, tentu semua harus berbagi porsi, adil dalam menunjukkan kelihaian masing-masing. Tapi Pandu saat itu tidak peduli, baginya gitar dan dirinya adalah pertunjukan yang sebenarnya. Dia mengambil porsi terlampau banyak, seperti kebiasaan orang-orang jika berurusan dengan hidangan di sebuah pesta pernikahan.
Kelelahan berkali-kali didepak, akhirnya Pandu memutuskan mendirikan band sendiri. Dia beranggapan ini harus dilakukan untuk menyelamatkan karirnya, dan memberinya lebih banyak ruang kebebasan berekspresi. Dia adalah presiden, perdana menteri, parlemen, mahkamah agung, dan bahkan rakyat untuk band-nya.
Pada masa-masa awal menjadi gitaris, Pandu memainkan musik rock, tapi di band yang digawangi olehnya sendiri, dia memilih lagu-lagu blues. Alasannya sederhana, agar waktu pertunjukan kelihaiannya memainkan gitar lebih banyak. Dan memang musik blues seperti itu. Memang dia punya personel tambahan yang disewa, tapi Pandu menerapkan satu aturan yang harus dipatuhi : ikuti aba-abanya dari awal hingga akhir lagu. Tak heran jika band ini diberi nama Otoriter .
Tapi tahukah kau apa yang begitu kental dari lagu blues? Lagu-lagu cinta. Pandu tahu hal ini. Sejak menjadi musisi, berkali-kali dia menjalin hubungan dengan banyak wanita yang ditemuinya saat tur dari kota ke kota. Apalagi penampilan Pandu begitu gagah (pada masanya). Kulit bersih, bulu dada terawat, ke mana-mana memakai celana kulit ketat dilengkapi rambut kribo yang tumbuh jumawa di kepalanya.
Umumnya banyak hubungan hanya berjalan dalam waktu singkat, 48 jam kurang lebihnya. Hubungan dipastikan kandas bersama laju bus yang membawa Pandu meninggalkan kota. Kebiasaan itu berlanjut hingga dia membentuk Otoriter. Segala kesenangan dan “pemuasan hasrat” yang diperoleh menjadi inspirasi lagu-lagu ciptaannya di album pertama. Namun ada satu wanita yang tidak lepas dari ingatannya : Maria.
Maria bukan penggemar musik blues atau penggemar Pandu. Dia cuma mahasiswi teknik arsitektur yang kerja sambilan jadi penjaga gedung pertunjukan konser. Pertemuan keduanya terjadi saat Otoriter, yang baru saja mendapat penghargaan “Band Pendatang Baru Terbaik” dari sebuah majalah musik ternama, mengadakan konser gratis di ibukota untuk merayakannya.
Gedung dipilih, sebuah bangunan tua peninggalan tahun 1940-an, bekas bioskop dan pernah jadi markas pemberontak. Pandu datang untuk mengecek kesehatan lantai panggung dan pemantulan suara. Saat itulah dia berkenalan dengan Maria, si penjaga gedung yang memberinya daftar hal-hal apa saja yang tidak boleh dilakukan jika menggunakan gedung ini.
Pandu terpesona, dia tidak peduli daftar yang diberikan Maria. Dia tidak bisa mengalihkan pandangannya dari dara manis berambut panjang lebat berkulit putih itu. Pandu merasa doa-doa yang dia panjatkan saat akan makan telah terkabul. Karena memang cuma itu doa yang dia tahu, hasil sering bolos mengaji semasa kecil. Singkatnya, dia jatuh cinta dan percaya Tuhan telah memberi jawaban.
Maka manggung malam itu terasa lain. Pandu murah hati mengijinkan para personel tambahan untuk menonjolkan kemampuan masing-masing, sesuatu yang mereka manfaatkan sebaik-baiknya. Tukar bertukar irama gitar, bass yang dicabik dengan penuh semangat, drum digebuk bak beduk buka puasa. Penonton menggila. Pandu berharap Maria menyaksikan ini. Padahal Maria sedang di ruangan belakang panggung mengerjakan tugas kuliah.
Usai pertunjukan, Maria bergegas menuju panggung dan meminta bayar sewa gedung. Pandu yang buta karena kasmaran malah tidak sengaja memberi honor seluruh pemain tambahan. Terang saja mereka marah. Mereka berhenti malam itu juga. Pandu beranggapan semua tetap lengkap dengan Maria. Malam itu makin indah bagi Pandu karena Maria memberinya nomor telepon rumahnya. Kurang gembira apa lagi si Pandu ini?
Esoknya, Pandu menelpon nomor tersebut namun tidak ada jawaban. Berkali-kali hingga malam tiba, tetap tidak ada jawaban. “Semoga besok berhasil,” kata Pandu dalam hati. Tekadnya untuk berkenalan lebih jauh sudah bulat. Pagi jam tujuh, dicoba lagi, hingga malam namun tetap nihil. Begitu terus, berhari-hari, berminggu-minggu. Hasilnya sama saja.
Kegiatan menelpon udara itu membuat Pandu menjadi kurus, janggut dan kumisnya tumbuh awut-awutan. Sebuah koran mengabarkan bahwa Pandu terlalu serius menggarap album baru hingga berdampak pada penampilannya. Suatu malam (lima bulan sejak pertemuan dengan Maria) setelah menonton iklan buku telepon di televisi, Pandu akhirnya sadar kebodohan dirinya karena hanya meminta nomor telepon tanpa alamat rumah. Bisa saja Maria sebenarnya sudah punya pacar. Hatinya luka, perih menahan rindu tak tertahankan. Satu-satunya obat bagi Pandu (selain makan lebih banyak) adalah gitarnya.
Keesokan paginya, dia mulai memainkan gitar, melengkingkan irama merana lirih penantian di kamar rumahnya. Siapa pun yang lewat di depan rumah Pandu pasti akan tertegun dengan raungan gitar yang dia mainkan. Pegawai negeri, polisi, tentara, satpam, hansip, wanita karir, ibu rumah tangga, tukang sayur, tukang tambal ban, tukang permak jeans, anak SMA bolos sekolah, semua diam mematung. Tak sedikit yang merinding, si pegawai negeri malah berlinang air mata, bersyukur hari ini dia bolos kerja.
Pandu kemudian berniat merekam lagu, namun dia baru ingat telah ditinggalkan para personil tambahannya. Maka dia pun menelpon mereka. Setelah dibujuk (dan dibayar menggunakan seluruh uang tabungannya) akhirnya mereka bersedia kembali bergabung. Studio rekaman kembali kedatangan si anak hilang, album baru pun dibuat. Tapi kali ini lirik-liriknya bertema kehilangan.
Album tersebut laku besar di pasaran. Radio-radio memutarnya, majalah dan koran mengulasnya, anak muda memburu kasetnya, para pembajak beramai-ramai membajaknya, televisi mengundang band Pandu untuk tampil di jeda siaran langsung sidang paripurna wakil rakyat. Telepon terus berdering mengajukan tawaran manggung dan mengisi acara festival. Penghargaan datang dari mana-mana. Pandu dan personil-personil tambahannya mendadak kaya raya, bergelimang uang. Namun terasa ada yang hilang dari dirinya. Rupanya dia masih rindu Maria.
Rasa rindu itu yang melahirkan beberapa album-album di karir musik Pandu. Semakin lama, lagu-lagunya semakin puitis dan lirih. Cocok untuk kuping-kuping masyarakat yang selalu sendu akibat derita naiknya harga kebutuhan pokok. Dan di usianya yang ke lima puluh, Pandu tetap bermusik walau penampilannya berubah banyak, tidak rupawan lagi seperti dulu.
Pandu menikah dengan manajer band rivalnya (katanya sebagai strategi dalam persaingan), hidup bahagia dan dikaruniai dua anak. Namun kerinduan terhadap Maria, cinta pertamanya, belum luntur. Hal itu dia utarakan saat kami bertemu untuk keperluan wawancara sebuah majalah musik. Kerinduan itu tampak jelas dari matanya. Kerinduan itu juga yang membuat Pandu belajar cara mencintai seseorang dengan tulus. Sepertinya aku tidak perlu memberi tahu hal ini kepada Maria, ibuku. Dia sering bercerita penyesalan salah menulis angka terakhir di nomor telepon yang dia berikan.
(Makassar, 3 Januari 2017)
Catatan : Cerita pendek ini pernah tersiar di kanal Fiction situs platform menulis untuk umum, IDN Times, Minggu 14 Mei 2017 : https://fiction.idntimes.com/story/achmad-hidayat-alsair/cerpen-cerita-seorang-gitaris-blues-c1c2/full