Kisah Pemahat Prasasti (Puisi Achmad Hidayat Alsair di Buku Antologi Bersama “Menenggak Rindu”)
Aku berdoa kepada Wisnu untuk memberiku kekuatan.
Aku berdoa kepada malam yang memberiku ketabahan.
Aku mendoakan sang Prabu untuk memberiku restu.
Dan kumulai pekerjaan muliaku, memahat aksara demi aksara di atas batu besar berukuran persegi empat.
Aku duduk bersila di atasnya, pahat dan pemukulnya kuadu penuh seksama.
Meliuk mereka di atas permukaan batu, menggoreskan huruf penanda keabadian sang Prabu.
Suara aliran sungai yang berpadu dengan kikisan permukaan batu oleh pahat mengiringi malam ritualku.
Inilah pertapaan paling suci, dimana kata-kata yang terukir akan menjadi penerang selama seribu tahun berikutnya.
Prasasti ini akan menjadi bukti sebuah masa dimana aku berhasil memahat batu gergasi yang berwarna hitam.
Aku mungkin akan hilang ditelan zaman, sebab aku bukanlah mpu-mpu yang lihai membuat keris atau seniman kata-kata.
Namun batu bertulis ini akan hidup abadi, walau mungkin tertimbun tumpukan tanah atau hancur oleh ulah manusia.
Tetap akan kutulis huruf demi huruf ini, atas nama keabadian dan ingatan yang tak akan lekang.
Malam semakin larut, dan huruf yang terukir kini bernyanyi merdu.
(Makassar, 30 Maret 2016)
(Puisi ini turut dimuat dalam buku antologi bersama “Menenggak Rindu” terbitan Stepa Pustaka)