Menghukum Pengkritik Presiden

Achmad Hidayat Alsair
9 min readSep 12, 2017

--

(Unsplash.com/Emiliano Bar)

Alkisah, ada sebuah negara kecoa berkembang bernama Coronesia sedang gegap gempita oleh urusan kopi oplosan dicampur kapur ajaib. Nama presidennya adalah Horib Gandola, seorang kecoa yang tidak punya potongan menjadi presiden.

Horib berasal dari kalangan pekerja, awalnya hanya sebagai buruh di Kementerian Pengumpul Makanan (jika tidak ingin disebut mencuri dari meja makan manusia). Namun keuletannya dalam bekerja membuatnya begitu dihormati oleh kecoa-kecoa pekerja lain dan para kecoa atasan.

Singkat cerita, jabatan Horib perlahan mengalami kenaikan. Akhirnya, ia memimpin kementerian setelah bekerja selama 15 tahun. Sosoknya ramah dan begitu akrab dengan seluruh kecoa bawahan. Ini membuat media massa Coronesia menganggapnya sebagai salah satu tokoh masa depan negara.

Asal tahu saja, di dunia bawah tanah Coronesia, makanan adalah hal paling penting dan wajib selalu ada. Sehari saja tidak tersedia, para warga negara kecoa menggila. Warga bisa membakar dan menjarah toko persediaan makanan dari ritel asal negara Coroncis atau Cororika.

Horib senang berjalan-jalan tanpa pengawalan dan biasa berbincang dengan rakyat-rakyat kecoa biasa yang ia temui. Padahal untuk kecoa pejabat seukurannya (pemimpin pengumpul makanan Coronesia bukan jabatan yang main-main, setara menteri urusan pangan), fasilitas mewah dan kecoa pengawal bertubuh kekar sudah tentu jadi hal yang mudah.

Hal itu membuatnya dikenal secara luas karena membumi. Maka tidak sulit bagi partainya yang berlambang kecoa bertanduk untuk menarik suara dan dukungan dari rakyat kecoa.

Horib tak tahu politik, namun mengiyakan saja ketika ditawari menjadi presiden Coronesia. Dalam hemat pemikirannya (jika tidak ingin disebut lugu), menjadi presiden berarti bisa berjalan-jalan ke luar negeri dan memperbanyak kenalan dari kalangan militer dan pengusaha. Horib memang hobi bergaul.

Pilpres Coronesia digelar. Horib dan cawapres, ketua partai yang menaunginya, menang dengan suara telak. Mereka mengalahkan calon lain, mantan Menteri Kesehatan Coronesia yang pernah tersangkut korupsi ekspor obat-obatan.

****

Tahun-tahun awal jabatannya berjalan lancar. Persentase ekonomi dikerek, pembangunan digalakkan. Masuk tahun ketiga, suara sumbang bermunculan. Diduga dari para kecoa-kecoa pejabat tua yang tak kebagian proyek. Namun, Horib tidak habis pikir kenapa belakangan ini banyak kritik dilayangkan padanya.

Semenjak jadi presiden, Horib belajar menerima kritik dengan lapang dada. Bahkan semua berita surat kabar yang mengkritiknya dia gunting kemudian ditempel di kantor kepresidenan Coronesia tempatnya bekerja. Katanya, agar suara rakyat yang dia baca juga sebagai bahan introspeksi.

Namun di internet (jangan heran, kecoa disini juga sudah hobi selfie) ada seseorang bernama Morju. Lelaki gagal lulus universitas ini seringkali membuat status media sosial mengenai dirinya yang digambarkan tidak becus menangani negara.

Ibukota kebanjiran, dibilang salah Horib. Padahal ada walikota dan dinas tata kota yang punya tugas tersebut. Krisis ekonomi, dibilang Horib biang keladinya. Padahal menteri ekonomi sudah pusing tujuh keliling dan setengah mati melindungi Coronesia dari domino krisis ekonomi asal negara maju Cororika. Singkat kata, semua salah Horib. Ternyata, Morju jadi populer berkat kebiasaan mengkritik. Ia sering diundang berbicara di stasiun televisi. Followers akun media sosialnya mencapai jutaan.

Dengan deskjob mengkritiknya, ada desas-desus mengatakan Morju dapat orderan dari lawan-lawan politik presiden Horib untuk mengkritiknya (kadang menghinanya) maksimal tiga kali seminggu.

Horib sering curhat kepada penasihat presiden mengenai kritik (dan kadang hinaan) Morju.

“Aku tidak habis pikir, kenapa Morju tidak pernah berbicara baik mengenai aku, ya?”, tanya Horib sembari memakan pisang goreng di kantornya suatu sore.

“Wah, saya tidak tahu, pak. Tapi yang saya tahu, intel bilang Morju sering bertemu lawan politik bapak,” jawab si penasihat.

“Apa Morju bergabung dengan mereka?”, tanya Horib lagi.

Si penasihat menghela napas. “Tidak, pak. Bukan karena Morju tidak tahu berpolitik, tapi dia ingin fasilitas wi-fi super cepat di kontrakannya sebagai syarat,” jawabnya lugas.

Presiden hanya terdiam. Si penasihat juga tahu Horib sudah melakukan apa pun untuk negaranya, tetapi Morju dan pengikutnya di internet selalu menganggapnya tidak becus dalam memimpin Coronesia.

“Yah, seandainya Morju tahu betapa repotnya menjadi presiden,” kata si penasihat sambil menyesap kopi buatan barista kantor presiden.

Horib yang mendengarnya tiba-tiba duduk tegak seolah punggungnya habis disetrum listrik. Matanya berbinar-binar, antena kecoanya bergoyang-goyang. Horib dapat ide!

“Kumpulkan staf dan menteri secepatnya! Undang juga wartawan! Ada yang harus saya umumkan!”, perintahnya.

“Ba…baik, pak”, si penasihat kuyu melihat pisang goreng hangat itu harus bersisa lantaran kerjaan mendadak.

Malam itu, semua staf dan menteri bertanya-tanya kenapa ada rapat mendadak. Bisik-bisik terdengar.

“Mungkin bapak mau ganti menteri!”, kata seorang wartawan.

“Tidak mungkin reshuffle, dua bulan lalu kan sudah?”

“Lah, kalau begitu apa?”

Semua orang hanya bisa menerka. Sesaat kemudian presiden Horib masuk ruangan konferensi pers, kilatan kamera para kecoa wartawan sontak bekerja bersamaan. Beberapa menit kemudian, tanpa basa-basi dan kata pengantar, presiden Horib berpidato.

“Seperti yang kita tahu bersama, negara Coronesia adalah negara yang menjunjung demokrasi. Semua orang memiliki hak untuk memilih dan dipilih, memimpin dan dipimpin. Maka untuk besok, saya cuti sehari penuh dan menyerahkan tugas kepala negara dan kepala pemerintahan kepada Morju,” demikian isi pidato Horib Gandola.

Morju kemudian muncul dari pintu ruangan, berjalan dan mengambil tempat di samping podium untuk berdiri. Seolah ini semua sudah direncanakan. Semua terkejut. Staf terkejut, menteri terkejut, jurnalis terkejut, warga negara Coronesia yang menonton lewat televisi terkejut. Morju akan menjadi presiden untuk satu hari?

Luar biasa! Tukang kritik jadi presiden!

Ternyata, sore tadi Horib memerintahkan pengawal presiden untuk menjemput Morju di kontrakan kecilnya yang terletak di daerah pinggiran ibu kota.

Ketika diberitahu perihal rencana menjadikannya presiden sehari, Morju tidak mau dengan alasan membuang-buang waktunya untuk internetan. Tapi ketika dijelaskan bahwa kantor presiden dilengkapi fasilitas wi-fi super cepat rakitan negara Cororael, Morju langsung mengiyakan. Ia segera mengemas pakaian paling bagus dan laptopnya ke dalam tas, lalu menuju kantor presiden.

****

Morju malam itu tidur di kamar yang biasa ditempati presiden Horib untuk istirahat. Tidak ada hal lain yang dipikirkan oleh Morju kecuali wi-fi super cepat yang besok dia leluasa gunakan, mengunduh apapun yang dia mau. Termasuk hal-hal yang dilarang oleh Undang-Undang Coronesia (kalian pasti tahu apa itu).

Pagi-pagi sekali, Morju terbangun oleh ketukan pintu penasihat presiden.

“Ada apa sih? Orang masih mau tidur, ini juga masih jam setengah 6 pagi!”, hardiknya pada si penasihat sembari membuka pintu.

“Maaf, pak presiden Morju. Duta besar kita di Cororiah menelpon, penting. Warga negara kita disandera oleh kelompok teroris dan kini mereka meminta tebusan,” ujar si penasihat tergesa.

“Kenapa tidak bayar saja mereka? Kan masalah bisa langsung selesai?”, kata Morju sambil mengucek mata.

“Pak, mereka teroris, mereka tidak akan berhenti mencari orang untuk disandera dan dimintai tebusan, karena itu yang menjadi sumber pembiayaan mereka,” si penasihat coba mengulangi instruksi dari kecoa petinggi badan intelijen.

“Kalau begitu pakai uang negara! Jangan ganggu tidurku!”, teriak Morju sembari membanting pintu kamar.

Si penasihat hanya bisa geleng kepala. Ingin dia mencabut paksa antena kecoa Morju dan menginjak-injakny. Tapi Horib (si presiden sesungguhnya) malam sebelumnya mengatakan apa pun yang terjadi, jangan pernah marah kepada Morju.

“Ingat, bro. Ini cuma satu hari, kok,” tutur Morju kepada si penasihat setia yang sudah mendampinginya sejak kampanye.

Si kecoa penasihat merasa lelah. Pengalamannya belajar politik selama lima tahun di salah satu kampus ternama negara Cororika seolah menguap dalam semalam. Saat dipusingkan sipresiden sempalan, si penasihat memikirkan betapa nyenyak tidur Horib malam ini dan akhirnya bisa menikmati sarapan nasi goreng lezat buatan sang istri. Semua ada plus minusnya.

****

Jam sembilan pagi, Morju baru bangun. Seumur-umur dia baru merasakan kasur yang empuknya bukan main, beda dengan kasur di kontrakannya yang baru dianggarkan dari hasil kritik pesanan.

“Saatnya mandi dan download!”, tutur Morju kepada dirinya sendiri saat bercermin.

Selesai mandi, Morju keluar dari kamar menuju ruang kerja presiden. Ia sontak kaget mendapati beberapa menteri (yang dia tahu karena sering muncul di televisi) telah berada di ruangan tersebut.

Antena para menteri gemetar, tak ada suara. Morju merasa ada yang tidak beres.

“Se…selamat pagi,” ucap Morju terbata. “Kenapa kalian sudah ada di sini? Ini baru jam sembilan pagi.”

Si penasihat yang duduk di pinggir ruangan menghampiri si presiden sehari. “Pak Morju, menjadi presiden bukan pekerjaan freelance. Negara harus diurus selama 24 jam. Dan Horib bahkan sering begadang jika ada hal penting,” bisiknya ke kuping Morju.

“Lalu ada apa ini? Kenapa antena kalian bergetar?”, Morju bertanya dengan nada penuh takut, seolah baru saja melihat hantu.

Menteri Luar Negeri yang dulu veteran perang melawan bangsa tikus mendehem keras. Tubuh tegapnya masih terlihat walau raut mukanya yang tua tak bisa hilang.

“Pak Morju, warga negara kita yang menjadi sandera teroris di Cororiah baru saja dieksekusi. Mereka dipaksa minum air berisi seduhan kapur ajaib. Tebusan yang mereka minta ternyata harus dipenuhi pagi ini, dan batasnya sejam tadi. Foto jenazah kecoa jantan berumur 20 tahun itu sudah diterima oleh seluruh media massa Coronesia. Pengirimnya tentu saja kelompok teroris,” demikian laporan Menlu Coronesia dengan nada datar.

Morju mulai merasa antenanya juga gemetar hebat. Dia sadar menjadi presiden bukan hal yang dia inginkan. Sebagai kecoa pengangguran tanpa ijazh, dia hanya tahu cara meminta uang ke kakaknya yang jadi perawat di sebuah rumah sakit kecoa.

Maka ketika menyadari bahwa pekerjaannya mengkritik presiden Horib mendatangkan keuntungan (umumnya honor datang dari lawan-lawan politik Horib), Morju melakukanya dengan sepenuh hati dan dedikasi. Namun menjadi presiden tidak ada dalam agendanya.

Menteri Luar Negeri kemudian menyalakan televisi, dan muncullah kelebatan berita-berita pagi. Kalimat yang diucapkan oleh para pembaca berita

Morju jelas bukan contoh pemimpin yang baik…”

Sumber dalam kantor kepresidenan kami mengatakan Morju malah tidur alih-alih menggelar rapat membahas pembebasan sandera…”

Dia jelas tidak konsisten dengan semua kritikannya…”

Orang yang mengkritik harusnya lebih baik dari orang yang dikritik…”

Dari pantauan kami di internet, jumlah pengikut akun media sosial Morju menurun drastis…”

Salah satu komentar dari penonton : Begini rupanya Morju yang sebenarnya, cepat kirim dia ke garis depan perbatasan untuk melawan bangsa tikus!

Suara-suara itu kini memenuhi kepala Morju, malu mendengar pendapat orang-orang kini mengenai dirinya. Media massa, yang dulu mengundangnya sebagai pembicara di acara debat kusir jam 8 malam, kini membuatnya terpuruk.

Morju kalut, antenanya gemetaran, suaranya tercekat, mendadak dia pingsan. Semua gelap. Begitu asing.

Morju siuman. Namun ia gemetar melihat tidak ada lampu menyala. Tiba-tiba di hadapannya ada cahaya terang. Morju berlari menuju cahaya tersebut. Namun begitu sampai, yang ia dapat adalah setumpuk berkas perjanjian Coronesia dengan negara-negara lain.

Begitu tinggi hingga tak sanggup dia lihat ujungnya. Kaki Morju sontak lemah, jatuh berlutut di hadapan tumpukan berkas itu.

“Saya kapok! Saya tidak ingin lagi menjadi pengkritik! Menjadi presiden sungguh berat!!!”, teriak Morju, begitu keras hingga tumpukan tersebut rubuh jatuh menimpa wajah Morju yang bahkan dalam mimpi pun terlihat kalut.

****

Menjelang tengah malam di rumah sakit.

Presiden (yang sebenarnya) Horib yang mendengar kabar Morju jatuh pingsan langsung bergegas ke rumah sakit tempatnya dirawat. Sandera tewas kini telah menjadi pekerjaan negara. Asuransi, biaya duka, sejumlah uang sebagai tanda simpati ke keluarga korban. Itu semua menjadi urusan penasihat presiden.

Jam dinding sudah menunjukkkan angka jam 12 malam, artinya masa tugas “presiden Morju” resmi berakhir. Rinciannya, 15 menit bekerja dan 15 jam sisanya habis percuma karena pingsan.

Horib menunggu di depan pintu kamar pasien tempat Morju dirawat. Ide ini berasal darinya, maka sudah sepatutnya ini menjadi tanggung jawabnya. Ide buruk? Sudah tentu. Namun ia tak menyangka, Morju ternyata tak memiliki kemampuan manajemen krisis.

Karena Morju, ia dan seluruh menteri harus segera mengadakan rapat besok pagi. Sebuah permintaan menyerang markas teroris di Cororiah sedang dibahas Kementerian Pertahanan Coronesia bersama Cororika si polisi dunia. Ini sebagai bentuk pembalasan.

Tak henti-hentinya Horib menanyakan kabar Morju yang belum sadarkan diri kepada dokter yang merawatnya. Diagnosa awal, Morju mengalami shock sehingga antenanya bergetar kencang, berakibat pada kinerja otaknya yang kemudian terganggu.

Kini jam 12 malam, Morju siuman. Lama juga kecoa ini pingsan, pikir Horib. Jika dihitung, Presiden Morju hanya bertugas selama 20 menit. Sisa 23 jam 40 menit dihabiskan untuk tidur dan pingsan.

Dokter kemudian mengijinkan presiden asli itu untuk menengok keadaan Morju. Morju yang masih lemah dan terus menerus memegang antenanya menyambut presiden Horib dengan tenaga tersisa dari ranjang putih rumah sakit.

“Maafkan saya, pak. Selama ini saya selalu mengkritik bapak, bahkan menghina bapak. Saya sungguh malu, ternyata menjadi presiden adalah pekerjaan yang sangat sulit,” ujar Morju berliang air mata, menyesali perbuatannya yang lalu.

“Tak apa-apa, Morju. Yang jelas kamu tahu bagaimana berat beban amanah rakyat Coronesia di pundak saya,” jawab Horib. Begitu manis namun di saat yang sama menimbulkan rasa kasihan. Morju yang getol mengkritiknya kini mengaku kalah!

“Iya, pak. Mulai detik ini saya berhenti menjadi pengkritik bapak,” lanjut Morju.

“Lalu setelah tidak lagi menjadi pengkritik, apa rencanamu? Gabung dengan partai oposisi?” tanya Horib penasaran.

Dengan suara lemah, Morju menjawab pertanyaan tersebut.

“Bukan, pak. Saya ingin mendirikan kursus cara terbaik mengkritik bagi kecoa-kecoa muda di sekitar tempat tinggal saya.”

Kali ini, giliran presiden Horib yang pingsan.

(Makassar, Oktober 2016)

Catatan : Cerita pendek ini pernah dimuat dan dibagi menjadi dua bagian di Rubrik “Sastra” Koran Identitas terbitan Penerbitan Kampus Universitas Hasanuddin, edisi Awal dan Akhir Januari 2017. Isinya sudah mengalami proses penyuntingan di beberapa bagian.

--

--