Menjadi Babi (Puisi-puisi Achmad Hidayat Alsair di Go Cakrawala Gowa, Sabtu 19 Agustus 2017)

Achmad Hidayat Alsair
3 min readSep 28, 2017

--

Ada tiga puisi saya yang dimuat di rubrik “Sastra” harian Go Cakrawala Gowa edisi Sabtu, 19 Agustus 2017. Di lembar sama turut dimuat pula cerpen karya bang Arinda Nurul W. berjudul “Kesempatan Terakhir”. Berikut salinan puisi-puisi tersebut.

______________________________

Menjadi Babi

Nguik! Ini bukan bisik najis ingin jumpalitan di telapak tanganmu, aku telah membawa sekantung tanah dan panduan mencuci tangan untuk pemula.

Nguik! Ini bukan binatang berkulit kemerahan penanggung dosa di daftar nista kitab-kitab kebinatangan. Aku datang dalam damai membawa air kembang dan anggur paling ranum.

Nguik! Ini bukan umpatan yang kerap kau terlontar (atau ditulis) jika sabda lemahmu dalam majelis putih ditolak tanpa harus ditinjau ulang hingga seribu kali.

Nguik! Ini bukan bahasa yang tercipta dari debu puing menara Babel, kata-kata kami bertabir suci sehingga tak ditulis dalam kamus bahasa mana pun.

Nguik! Ini bukan pedoman hidup penuntun terbaik, kami punya cara sendiri mengukur jarak antara tengik kandang dengan cahaya gerbang surgaloka.

Nguik! Ini bukan pekerjaan setan, apa yang mereka pinjam tidak sepadan dengan pelajaran hidup kami : tidak pernah mengeluh mengenai keadaan dan rasa makanan.

Nguik! Kami lahir untuk mengemban satu misi : membantu manusia menjadi pengukur luas meja makan paling telaten. Sejak kecil kami telah dilatih memamah biak apa-apa yang terhampar sejauh mata memandang.

Nguik! Meniti bentangan nasib, selalu berujung pada rumah jagal. Tidak ada istilah perbaikan masa depan atau kehendak merdeka dan runtuhkan tirani peternakan.

Nguik! Jangan menghindar, inilah batas antara mengeluh dan terkungkung. Pilihlah satu alih-alih melahirkan sepuluh anak dan tidur sepanjang hari.

(Makassar, Desember 2016)

______________________________

Menjadi Serigala

Auuuung! Aku menyalak dan berdoa pada baginda iblis murah hati yang bersedia meminjamkan tubuh berbulu ini untuk kupakai pakansi malam hari.

Auuuung! Aku menyalak di puncak pohon beringin saat sekujur akar gantungnya berusaha menghirup nafas birahi para pemburu darah dan kutu busuk penjaga reruntuhan kuil.

Auuuung! Aku menyalak meminta bulu kuduk orang tua kekasihku karena mereka tahu aku tidak bisa ditemui jika bulan bulat purnama, tidak bisa mengajak kekasihku merasakan nikmatnya aura dingin gigil gemetar seantero buhul.

Auuuung! Aku menyalak sebagai sinyal kepada semesta dan orang-orang biologi spesialis taksonomi untuk menempatkanku di pucuk tahta piramida makanan.

Auuuung! Aku menyalak membawa alamat rumah yang ingin kukunjungi sebelum subuh, meminta sesaji berupa kopi hangat. Tenang, aku akan menyamar dalam mantel hujan.

Auuuung! Aku menyalak membangkitkan gairah betina incaran saudara-saudaraku, sosok menara berotot lebih birahi di mata mereka daripada tubuh kurus penakut, lemah kepada bias senter peronda malam.

Auuuung! Aku menyalak penuh kejantanan, minggir dari jalanku atau akan kukecup tengkukmu penuh mesra. Ingin kupamer taring-taring yang tumbuh dalam hitungan menit, berlawanan dengan anatomi di buku-buku calon dokter.

Auuuung! Jangan ikuti jejakku, sebab malam ini, kesucian naskah perjanjian kaumku akan ternoda dengan mencakari anak-anak yang selalu kau umpan pada peperangan.

Auuuung! Jika bersikukuh ingin menjadi diriku, ikuti ritus menyesap hidangan yang disajikan para tetua penolak renta : warna merah kental dari pembedahan isi jantung. Jangan tidur hingga kau rasakan gegap gempita pesta binatang purba jalari sekujur nadimu.

(Makassar, Desember 2016)

______________________________

Menjadi Ular

Desis dari lidah bercabang

Desis dari kulit yang mengelupas

Desis dari celah batu-batu cadas uzur

Desis dari warna langit serta awan paling berat

Desis dari panas matahari sebelum cuaca minta pamit

Desis dari bau-bau di udara setelah ritual suci perburuan

Desis dari getaran langkah para penjelajah bersenjata kompas

Desis dari ceceran darah kering di sarang-sarang hangat tersembunyi

Desis dari cerita hibernasi teman-temanku saat musim dingin bukit-bukit di utara

Desis dari celah rimbun batang-batang pohon larangan di taman Eden, menjahili Adam

Berdesislah selagi melata, karena di gerbang surga tertulis peringatan “ular dilarang masuk!”

(Makassar, Mei 2017)

--

--

Achmad Hidayat Alsair

Percaya bahwa tidur siang lebih berguna daripada begadang.