[Mondo Culto #1] Kung Fury : That Fucking Happy Violence
Kung Fury : What year is this?
Barbarianna : It’s the Viking Age.
Kung Fury : [narration] That explains the laser-raptor. Fuck!
Konon, ada beberapa judul dalam sejarah sinema dunia yang hanya bisa dinikmati sembari giting kokain. Dan saya yakin “Kung Fury” (2015) masuk dalam daftar tersebut. Maafkan jika tulisan ini dibuka sembari mengundang kecurigaan BNN. Nuansa 1980-an kental terasa dalam film tersebut, dan apa lagi yang identik dengan era serba disko selain hasil ekspor utama Kolombia tersebut? Anjing memang.
Durasinya pendek saja, hanya 30 menit. Tapi tontonan yang dihasilkan dari sutradara David Sandberg (juga bertindak sebagai penulis naskah) terasa sangat menyenangkan. Apalagi untuk para pencinta film action comedy dengan dosis adrenalin berlebihan. “Kung Fury” terasa penuh tenaga secara bibit, bebet dan bobot, mengalahkan motor RX King tetangga saya di kampung sebelum rusak akibat meluncur tanpa hambatan ke laut karena remnya blong.
Premis ceritanya absurd bukan main. Kung Fury (itu nama karakternya, diperankan oleh David Sandberg juga) adalah seorang petugas kepolisian di Kota Miami, Amerika Serikat, pada tahun 1985. Setelah mendapat kemampuan bela diri luar biasa usai tersambar petir dan dipatuk ular kobra pada saat bersamaan (impresif!), laki-laki yang sepintas mirip Johnny Depp muda tersebut menjadi polisi petarung dengan reputasi gahar. Kung Fury ditakuti oleh para bandit dan berandalan, tapi merepotkan pemerintah kota Miami akibat level kerusakan yang ia timbulkan dalam setiap aksinya.
Di sequence pembuka film saja, Kung Fury harus berkelahi dengan robot mesin arcade yang memuntahkan peluru dari jari tengahnya (bisa bayangkan gayanya ketika menembak?). Setelah pertarungan sengit hingga ke luar angkasa, si robot jahanam akhirnya menjadi rongsokan dengan cara paling dramatis : meledak berkeping-keping.
Suatu hari, Kung Fury mendapati bahwa Adolf Hitler (Jorma Taccone) datang dari masa lalu dengan cara teleportasi waktu untuk menantang Kung Fury. Hitler, dalam film ini, tidak cuma diktator berkumis jelek. Dia adalah seorang petarung dari era 1940-an yang berambisi menguasai dunia. Dengan menantang Kung Fury, sang seniman gagal berubah sinting ingin meneguhkan julukannya sebagai Kung-Führer.
Kungfu, pasukan Nazi-Jerman, Miami era 80-an, robot dan Hitler. Kata-kata kunci ini sudah cukup absurd untuk dijejalkan dalam sebuah sinopsis. Tunggu sampai Anda melihat rekan Kung Fury di kepolisian Miami: makhluk setengah manusia-setengah Triceratops dengan aksen Inggris bernama Triceracop (Frank Sanderson). Ada juga Barbarianna (Eleni Young) serta Katana (Helene Ahlson), dua ksatria perempuan yang menenteng senjata api ke mana pun mereka pergi, yang menemani perjalanan sang tokoh utama saat terdampar ke masa Viking —dinosaurus yang bisa menembak laser dari matanya hidup pada masa itu — akibat kesalahan “peretasan waktu” oleh Hackerman (Leopold Nilsson).
Bisa dibilang “Kung Fury” adalah sebuah proyek yang lahir dari kecintaan David Sandberg pada hal-hal dari era 1980-an. Mulai dari musik, busana, budaya pop hingga kendaraan ceper tapi gesit. Ia bahkan berhenti dari pekerjaan utamanya demi menggarap film tersebut. Dalam sebuah wawancara pada tahun 2017, Sandberg mengaku “Kung Fury” terinspirasi dari “Miami Vice”, serial populer bergenre drama kriminal. Tapi, ia memadukan elemen-elemen tersebut dengan dinosaurus, robot, hingga pasukan Nazi-Jerman. Entah Sandberg kerasukan dedemit apa sampai berani mencampur baur unsur-unsur khas genre exploitation dalam karyanya. Ibarat kata nih, Sandberg membuat rujak buah tapi bumbunya mesiu dan steroid.
Sandberg bukan orang yang berkecimpung dalam gemerlap industri Hollywood. Ia hanyalah visual effect artist yang berbasis di kota kecil tapi modern bernama Umeå, pesisir Swedia tengah. Setelah memutuskan berdikari demi “Kung Fury”, Sandberg merekam banyak adegan menggunakan green screen dari kantornya. Peralatannya sederhana, hanya kamera Canon EOS 5D Mark III dan Sony FS700 untuk adegan slow-motion.
Sandberg bisa disebut benar-benar lebih indie daripada sutradara indie. Kampanye Kickstarter kemudian ditempuh untuk mengumpulkan dana tambahan, setelah dana pribadinya menipis dan lelah bekerja sendiri. Hasil dari crowdfunding ini adalah dana tambahan yang mencapai US$630 ribu, jauh melampaui target awal yakni US$200 ribu. Sandberg akhirnya merekrut tenaga tambahan ke Laser Unicorns (nama rumah produksi yang didirikan Sandberg, mengingatkan pada mimpi seorang manusia saat sedang demam tinggi), menggarap visual effect di masa post-production, sekaligus meringankan beban kerja sang sutradara-penulis naskah-aktor utama. Setelah menghabiskan waktu pengerjaan sekitar 12.000 jam waktu Skandinavia sarat brutalitas, “Kung Fury” akhirnya dirilis secara cuma-cuma di YouTube pada 22 Mei 2015.
Sajian kekerasan over-the-top dan murahan adalah upaya Sandberg untuk mengenang masa kecilnya. Kesintingan yang dia tumpahkan dalam medium film adalah caranya mengalami kembali dekade 1980-an. Nostalgia era TVRI masih menjadi satu-satunya stasiun televisi sangat membekas bagi banyak orang. Yang dialami Sandberg seolah sama dengan survei National Geographic pada tahun 2013 lalu, di mana hasilnya menyatakan bahwa 3 dari 4 penduduk Amerika Serikat dalam demografi Generasi X lebih suka dengan produk budaya populer dari era 80-an. Tak heran, sebab mereka menjalani masa kecil dan remaja pada masa tersebut. Meskipun terpisah hampir 6 ribu kilometer, Sandberg kecil di Umeå juga bernasib serupa, memuja apa yang ia lihat dan konsumsi di televisi tabung.
“Kung Fury” layak disebut upaya otentik menghidupkan nuansa 1980-an yang tidak tanggung-tanggung. Sajian khas kaset VHS (apa Gen Z tahu benda ini?) yakni garis statis, noise, hingga distorsi warna diperlihatkan oleh Sandberg dan tentu saja jadi artistic choice yang tepat. Seolah-olah baru saja dikeluarkan dari kotak kayu barang-barang koleksi bapak saat muda, yang kebetulan juga berisi majalah porno. Selain itu, suara beberapa karakter sengaja di-dubbing untuk meniru gaya film-film aksi 1980-an. Perasaan “lah kok kata yang diucap dan gerakan mulutnya kok beda, anying?!” kembali dibangkitkan dan mengusik tidur orang-orang perfeksionis. Belum lagi musik pengiring yang bergenre synthpop garapan deretan musisi Swedia menambah kadar “80’s aesthetics” ke level maksimal.
Dialog hasil naskah garapan Sandberg pun khas B-movies dari dekade tersebut. One liner klise yang disampaikan dengan sangat datar dikombinasikan dengan kadar “coolness” berlebihan sejumlah karakter. Berbanding terbalik dengan intensitas aksi dan tubuh-tubuh musuh yang berterbangan bagai inai-inai akibat setiap jotosan dan tendangan dari sang tokoh utama. “I am disarming you,” kata Kung Fury sebelum mencabut satu tangan seorang tentara Nazi-Jerman dari badannya. Jenius! Belum lagi kadar ledakan dan baku hantam yang mungkin pernah menjadi mimpi basah Michael Bay.
Trope characteristic “Kung Fury” pun mengingatkan ke banyak film action buddy cop era 1980-an. Karakter utama jagoan keras kepala petantang-petenteng yang senang melanggar aturan, sidekick berkepala dingin dengan kepekaan sosial tinggi, third lead jago memaksimalkan fungsi benda elektronik, sampai main villain menjengkelkan yang memandang bahwa menguasai dunia adalah satu-satunya cara aktualisasi diri paling hakiki. Terlalu hitam dan putih, tapi inilah default yang berlaku kala itu, serta direplikasi dengan sempurna oleh Sandberg.
Apakah “Kung Fury” adalah tontonan yang bikin pintar? Oh, tidak sama sekali. Menikmati sajian garapan David Sandberg ini tidak perlu mikir keras. Apakah “Kung Fury” adalah hiburan yang sempurna? Yang ini mungkin bisa memicu debat. Tapi film tersebut digarap dengan penuh rasa cinta kepada masa yang melahirkan Jean-Claude Van Damme, Cynthia Rothrock, Dolph Lundgren, Arnold Schwarzenegger, Brigitte Nielsen, Chuck Norris, dan Sylvester Stallone. Film tersebut juga muncul sebagai cara sang sineas memberi hormat kepada masa yang menghadiahkan umat manusia cheesy B-movies sarat eksploitasi stereotipe ugal-ugalan seperti “Masters of the Universe” (1984), “Conan the Barbarian” (1982), “The Evil Dead” (1981) serta “American Ninja” (1985).
Karena itu, “Kung Fury” harus dinikmati dengan riang gembira. So, enjoy that fucking happy violence!
Rating : “It’s my bicep!”/10
Fun facts :
- “Kung Fury” diputar dalam ajang Cannes Film Festival 2015 untuk section Directors’ Fortnight yang berisi film-film hasil produksi independen.
- Sudah ditonton sebanyak 40 juta kali sejak dirilis ke YouTube.
- David Hasselhoff (si penjaga pantai di serial “Baywatch”) jadi penyanyi soundtrack serta pengisi suara karakter HOFF9000, sebuah homage untuk HAL9000 dari film “2001: A Space Odyssey” garapan Stanley Kubrick.
- Sekuel “Kung Fury” dalam format full feature sudah selesai digarap sejak akhir tahun 2019. Dibintangi oleh Michael Fassbender, Arnold Schwarzenegger dan Alexandra Shipp. And I kid you not.