Setelah Taman Dilarang (Puisi-puisi Achmad Hidayat Alsair di FloresSastra, 8 Desember 2016)

Achmad Hidayat Alsair
3 min readMar 2, 2017

--

Ada delapan puisi saya yang tayang di kanal “Sajak” situs sastra daring regional NTT, FloresSastra.com pada 8 Desember 2016. Tautan menuju artikel : http://floressastra.com/2016/12/08/menu-sebuah-restoran-di-aleppo-puisi-puisi-achmad-hidayat-alsair/. Berikut salinan seluruh puisi tersebut.

______________________________

Setelah Taman Dilarang

Jadi, taman-taman sudah dibongkar dan rerimbun teduh jadi mitos anak cucu

katanya mereka sudah tidak diperlukan, tidak mendatangkan keuntungan

jika dedaunan bisa bergerak dan berbicara, mereka juga akan dikenakan pajak

mengotori jalan dan pemandangan, para dewasa kini berotak buku rekening

Menuju pusat perbelanjaan, brosur mengatakan mereka menanam pohon

kami tengah berusahan menjalin kembali hubungan dengan alam” pungkasnya

maka setengah terburu kupacu kendara, dada ini sesak butuh udara sungguhan

begitu tiba, hanya rindang dan rumput plastik serta gerbang bertulis “wajib beli tiket masuk

Penduduk hanya berkumpul membahas hidup dan pekerjaan di bawah lampu paling terang

sementara anak-anak bermain dengan mesin-mesin serta boneka berkulit aneka limbah

udara dinikahkan paksa dengan cerobong raksasa pinggiran kota beraura paling kelam

sakit paru-paru adalah sarapan pagi bagi para pejalan, kabar baik untuk pabrik obat

Menebang batang menjadi pekerjaan utama Dinas Tata Kota, menanam beton adalah gantinya

serangga hilang kediaman, kumpulan burung bertukar kabar keadaan pulau Galapagos

kuraih komputer jinjing guna mengerjakan naskah buku dongeng terbaru

ceritanya sederhana, tentang sebuah taman yang hanya memiliki satu pohon

Makassar, 2 Desember 2016

______________________________

Revisi Pembelajaran Sejarah (2)

Kuganti Tojo dengan Hitler

kalang kabutlah Rommel karena tank-tanknya mandek di sawah

Kuganti Maradona dengan Ronaldo

kalang kabutlah Pele sekaligus takjub menonton kepala botak bak sinar kaum Bolivar kedua

Kuganti Hindia-Belanda dengan Australia

kalang kabutlah Ratu Wilhelmina dengan laba-laba sebesar topi sombrero

Kuganti Manhattan dengan Medellin

kalang kabutlah Umar Kayam melihat kunang-kunang menjadi lesatan peluru para kartel

Kuganti Skotlandia dengan Kanada

kalang kabutlah William Wallace menyusun pasukan yang gemar meminta maaf

Kuganti Beatles dengan Beach Boys

kalang kabutlah John Lennon dengan musik rock yang semakin tidak keruan

Kuganti Komodo dengan Kangguru

kalang kabutlah Si Komo membaca skrip film dokumenter yang dia perankan

Semua sudah direvisi dengan hati-hati

sudahkah Anda tertawa hari ini?

Makassar, 3 Desember 2016

______________________________

Doa Para Pemeluk Guling

yang kubilang nyaman adalah seonggok badan

terlunta dimakan nasibnya sendiri

penantian tak lebih sinonim dari gagal

tuntutan kata-kata dalam pelaminan

ditempa begitu halus oleh nyanyian padang

basa-basi langit malam

kuali dijunjung, meminta pertanyaan

untuk membaur jauh dari pekarangan

gema-gema sunyi

dan kecipak air dari ledeng

Tuhan, segera beri aku peraduan

cermin selalu berteriak ke wajahku

Tuhan, mohon sempitkan kamar ini

hiasi dengan seprai rajahan mawar

Makassar, Oktober 2016

______________________________

Menuju Sinai

Membekap sekantung bekal

sebelum mulai menghitung

kantung air tersisa di buntalan

uang receh dalam saku celana

berat dan tidak banyak

hari ini tanpa sarapan

Mencari pohon terindang

berteduh tanpa bantal

tebalnya selimut berkain terik

sekongkol hadirkan lelap

mimpi nihil dialog

renggut rencana bangun

Dalam perjalanan pulang

remah roti lalu bekas sujud

ocehan pasir menempa mata

Makassar, September 2016

______________________________

Menu Sebuah Restoran di Aleppo

Kalau nanti aku merasa lapar

segera suguhkan asap dari luncuran misil

bau reruntuhan dan kulit melepuh lebih menggoda

daripada hidangan berupa bait-bait perdamaian metafora

Sarapan hingga makan malam

yang tersedia di dapur selalu sama

konvoi bantuan kala siang kerap terhalang gencatan pura-pura

berita suasana perdebatan sidang umum adalah selingan pencuci mulut

Jika telah kenyang serta selesai proses di perut

lupakan tidur siang istirahat pencernaan

bersembunyi kini jadi pekerjaan utama

selain menangis dan menyumbat luka

Makassar, September 2016

______________________________

Perihal Angin dan Resahnya

Angin memasang tampang jinak

butuh panduan lampiaskan amarah

hanya meniup nyanyi lirih

dari nisan pemeluk semak

Angin mengaku terlalu ringkih

mengumpat tempuhan berbagai jarak

disesatkan oleh peta gadungan

dipanggil bencana dalam berita cuaca

Angin dipaksa menceraikan hembusan

menggali liang semayamnya kelak

tidak bertenaga untuk meliar

letih mekar di sekujur lubangnya

Makassar, September 2016

______________________________

Elegi Ekspedisi

Bawaan di pundak terlalu berat

selalu singgah jika temui tempat teduh

mungkin berhenti kalau diizinkan

lelah dan peluh, rajam

punggungku hendak bersandar

pada tembok atau rindangmu

entah mana yang lebih dekat

Sengaja tak ada tanya

biarkan kemayu lunglai

kita tetap akan sampai pada waktunya

semoga saja

Kaluppini, Juli 2016

______________________________

Membaca Angin

Aku bertanya pada semilir

mengeja tanda pada gurat wajah

sungai bersikeras tetap mengalir

acuh pada semak enggan terbara

Aku mendengar bisik terpaan

melihat sejauh mana dia bermain

keliaran yang tak kunjung reda

pada kulit pepohonan kering meranggas

Aku belajar membaca tubuhmu

kadang tergagap dituntun terik

Kaluppini, Juli 2016

--

--

Achmad Hidayat Alsair

Percaya bahwa tidur siang lebih berguna daripada begadang.