Setelah Taman Dilarang (Puisi-puisi Achmad Hidayat Alsair di FloresSastra, 8 Desember 2016)
--
Ada delapan puisi saya yang tayang di kanal “Sajak” situs sastra daring regional NTT, FloresSastra.com pada 8 Desember 2016. Tautan menuju artikel : http://floressastra.com/2016/12/08/menu-sebuah-restoran-di-aleppo-puisi-puisi-achmad-hidayat-alsair/. Berikut salinan seluruh puisi tersebut.
______________________________
Setelah Taman Dilarang
Jadi, taman-taman sudah dibongkar dan rerimbun teduh jadi mitos anak cucu
katanya mereka sudah tidak diperlukan, tidak mendatangkan keuntungan
jika dedaunan bisa bergerak dan berbicara, mereka juga akan dikenakan pajak
mengotori jalan dan pemandangan, para dewasa kini berotak buku rekening
Menuju pusat perbelanjaan, brosur mengatakan mereka menanam pohon
“kami tengah berusahan menjalin kembali hubungan dengan alam” pungkasnya
maka setengah terburu kupacu kendara, dada ini sesak butuh udara sungguhan
begitu tiba, hanya rindang dan rumput plastik serta gerbang bertulis “wajib beli tiket masuk”
Penduduk hanya berkumpul membahas hidup dan pekerjaan di bawah lampu paling terang
sementara anak-anak bermain dengan mesin-mesin serta boneka berkulit aneka limbah
udara dinikahkan paksa dengan cerobong raksasa pinggiran kota beraura paling kelam
sakit paru-paru adalah sarapan pagi bagi para pejalan, kabar baik untuk pabrik obat
Menebang batang menjadi pekerjaan utama Dinas Tata Kota, menanam beton adalah gantinya
serangga hilang kediaman, kumpulan burung bertukar kabar keadaan pulau Galapagos
kuraih komputer jinjing guna mengerjakan naskah buku dongeng terbaru
ceritanya sederhana, tentang sebuah taman yang hanya memiliki satu pohon
Makassar, 2 Desember 2016
______________________________
Revisi Pembelajaran Sejarah (2)
Kuganti Tojo dengan Hitler
kalang kabutlah Rommel karena tank-tanknya mandek di sawah
Kuganti Maradona dengan Ronaldo
kalang kabutlah Pele sekaligus takjub menonton kepala botak bak sinar kaum Bolivar kedua
Kuganti Hindia-Belanda dengan Australia
kalang kabutlah Ratu Wilhelmina dengan laba-laba sebesar topi sombrero
Kuganti Manhattan dengan Medellin
kalang kabutlah Umar Kayam melihat kunang-kunang menjadi lesatan peluru para kartel
Kuganti Skotlandia dengan Kanada
kalang kabutlah William Wallace menyusun pasukan yang gemar meminta maaf
Kuganti Beatles dengan Beach Boys
kalang kabutlah John Lennon dengan musik rock yang semakin tidak keruan
Kuganti Komodo dengan Kangguru
kalang kabutlah Si Komo membaca skrip film dokumenter yang dia perankan
Semua sudah direvisi dengan hati-hati
sudahkah Anda tertawa hari ini?
Makassar, 3 Desember 2016
______________________________
Doa Para Pemeluk Guling
yang kubilang nyaman adalah seonggok badan
terlunta dimakan nasibnya sendiri
penantian tak lebih sinonim dari gagal
tuntutan kata-kata dalam pelaminan
ditempa begitu halus oleh nyanyian padang
basa-basi langit malam
kuali dijunjung, meminta pertanyaan
untuk membaur jauh dari pekarangan
gema-gema sunyi
dan kecipak air dari ledeng
Tuhan, segera beri aku peraduan
cermin selalu berteriak ke wajahku
Tuhan, mohon sempitkan kamar ini
hiasi dengan seprai rajahan mawar
Makassar, Oktober 2016
______________________________
Menuju Sinai
Membekap sekantung bekal
sebelum mulai menghitung
kantung air tersisa di buntalan
uang receh dalam saku celana
berat dan tidak banyak
hari ini tanpa sarapan
Mencari pohon terindang
berteduh tanpa bantal
tebalnya selimut berkain terik
sekongkol hadirkan lelap
mimpi nihil dialog
renggut rencana bangun
Dalam perjalanan pulang
remah roti lalu bekas sujud
ocehan pasir menempa mata
Makassar, September 2016
______________________________
Menu Sebuah Restoran di Aleppo
Kalau nanti aku merasa lapar
segera suguhkan asap dari luncuran misil
bau reruntuhan dan kulit melepuh lebih menggoda
daripada hidangan berupa bait-bait perdamaian metafora
Sarapan hingga makan malam
yang tersedia di dapur selalu sama
konvoi bantuan kala siang kerap terhalang gencatan pura-pura
berita suasana perdebatan sidang umum adalah selingan pencuci mulut
Jika telah kenyang serta selesai proses di perut
lupakan tidur siang istirahat pencernaan
bersembunyi kini jadi pekerjaan utama
selain menangis dan menyumbat luka
Makassar, September 2016
______________________________
Perihal Angin dan Resahnya
Angin memasang tampang jinak
butuh panduan lampiaskan amarah
hanya meniup nyanyi lirih
dari nisan pemeluk semak
Angin mengaku terlalu ringkih
mengumpat tempuhan berbagai jarak
disesatkan oleh peta gadungan
dipanggil bencana dalam berita cuaca
Angin dipaksa menceraikan hembusan
menggali liang semayamnya kelak
tidak bertenaga untuk meliar
letih mekar di sekujur lubangnya
Makassar, September 2016
______________________________
Elegi Ekspedisi
Bawaan di pundak terlalu berat
selalu singgah jika temui tempat teduh
mungkin berhenti kalau diizinkan
lelah dan peluh, rajam
punggungku hendak bersandar
pada tembok atau rindangmu
entah mana yang lebih dekat
Sengaja tak ada tanya
biarkan kemayu lunglai
kita tetap akan sampai pada waktunya
semoga saja
Kaluppini, Juli 2016
______________________________
Membaca Angin
Aku bertanya pada semilir
mengeja tanda pada gurat wajah
sungai bersikeras tetap mengalir
acuh pada semak enggan terbara
Aku mendengar bisik terpaan
melihat sejauh mana dia bermain
keliaran yang tak kunjung reda
pada kulit pepohonan kering meranggas
Aku belajar membaca tubuhmu
kadang tergagap dituntun terik
Kaluppini, Juli 2016