Salinan Pesan Untuk Anakdara (Puisi-puisi Achmad Hidayat Alsair di Go Cakrawala Gowa, Sabtu 4 Maret 2017)
--
Ada tiga puisi saya yang dimuat di rubrik “Sastra” harian Go Cakrawala Gowa edisi Sabtu, 4 Maret 2017. Di lembar sama turut dimuat pula cerpen karya bang Wahyu Gandi G. berjudul “Di Tanah Merah” dan puisi-puisi dari kak Irma Muhsen (“Merindu Fana” dan “Tentang Harapan”). Berikut salinan puisi-puisi tersebut.
______________________________
Salinan Pesan Untuk Anak Dara
Nik, doa meminta musim paling basah
tak pernah lerai dari darasan ibadah Minggu-mu
sejak kau tahu jejak dan kakiku pecah di tanah
buraikan rupa-rupa luka yang mengkal
ke segala penjuru malam
Nik, keretaku tiba terlalu cepat
hidup hanya memberi bekal pertanyaan
serta pedoman singkat cara tersenyum
aku datang membaca jawaban yang menyusun keningmu
kauajarkan pula merancang tawa di perca bibirku
Nik, meredakan secuil sengat rindu
tak semudah menghafal ribuan nama jalan suatu kota
namun sesekali kuselipkan kau dalam sajakku
meski kemarau tersesat di sekujur kulit
dan kita masih belajar merakit gerimis
(2017)
______________________________
Eksodus Kaum Pertama
Aku terlalu peduli pada rambat doa
lamat-lamat kau ucap, penghalau lara
bibir yang batu cair di pinggir gugus pantai
terpaan angkasa mengandung salam takzimku
iringi senyap malam awal purnama
Aku bertamu meminta seteguk wahyu
imbalan tak sepadan memar paling bengkak
pada kaki-kaki yang mengeluh di lembah
tidak ada sungai berjubah ciprat dan lumut
di celah bebatuan kutafsirkan kelahiran
Sebelum Barat memaksaku kembali pulang
siapkan bekal sekedarnya bagi rombongan
gendongan bayi disulam pada bahu ibu
setapak demi setapak, kueja gemunung
semak terbakar lupa dicantum di daftar rencana
(2017)
______________________________
Mama Kin
Betapa laju angin yang membawa serpih sajakku
hendak bertanya sederas apa ia mengawal punggung
sebab di rumah aku hanya merapal mantra
menggeliat di pipimu, menambal jejak kerut
mulut tak ubahnya badai pemukul-mukul bukit
Kakiku mengetuk sekat lantai, memeriksa pertukaran udara
gelisah oleh jalanan, karib pengetuk debu kamar
ia undang aku membara lentera di puncak cemara
dan meringkuk menuju gunung batu, pertamahan paling diam
adalah pintu yang menjaga langgeng ekawarna
Sekali mendedah tirai, menghidu rumput ladang asing
berniat kutanggalkan pampang noda pucat di kulit
juga bujur ranjang yang perawannya tinggal separuh
mengenal jejak kembara nirmala sembari melepas ujudku
mohon tetaplah lelap jika malam lungsur dari jendela
(2017)