Belajar Membaca (Puisi-puisi Achmad Hidayat Alsair di Tanjungpinang Pos, Minggu 11 September 2016)
--
Ada lima puisi saya yang dimuat pada rubrik “Sastra” surat kabar harian Tanjungpinang Pos edisi Minggu 11 September 2016. Di rubrik yang sama turut termuat cerita pendek karangan kak Dian Nangin berjudul “Awan dan Ombak”. Berikut ini salinan seluruh puisi tersebut.
______________________________
Jam Lima Sore
Jika sudah jam lima sore, orang-orang akan saling umpat di atas permukaan jalan
untuk memperoleh kembali kenyamanan yang mereka gadaikan cuma-cuma
atas nama upah di tempat kerja mereka sejak pagi tadi
Jika sudah jam lima sore, orang-orang akan buta sementara
dengan hambatan dan pembatas hingga mendaki trotoar
dan kalau perlu membelinya demi memperoleh lelap yang ditanggalkan sukarela hari ini
Jika sudah jam lima sore, mulut akan terkatup rapat membuang lidah
dan klakson menjadi juru bicara demi memperoleh kembali pengertian
bahwa rumah dan segala isinya adalah rindu yang harus digenapi
Jika sudah jam lima sore, ruhku bergentayangan di atas roda-roda kepanasan
demi mencari segala cara untuk sampai menuju dirimu
yang sejak tiga puluh menit yang lalu bersiap menyambutku dengan segelas kopi
Sayang, senja telanjur tenggelam dalam saku bajuku
(Makassar, Juni 2016)
______________________________
Belajar Membaca
Membaca berita, menangisi keadaan dunia
Membaca komik, tenggelam dalam fana
Membaca manuskrip, wajah sekonyong tua
Membaca puisi, menggores ingatan hingga luka
Membaca buku teks pelajaran, kaburnya benar dan salah
Membaca kitab suci, garis yang jelas antara benar dan salah
Membaca novel roman-tragedi, tak ada yang benar dan semua salah
Membaca kitab undang-undang, benar bisa jadi salah
Membaca langit, tersapu oleh angin
Membaca tanah, tersapu oleh hujan
Membaca air, tersapu oleh batu
Membaca api, tersapu oleh deru
Membaca diriku, menjawab pertanyaan yang kubuat sendiri
Membaca dirimu, kau lebih banyak bertanya bagaimana kita nanti
(Makassar, Juni 2016)
______________________________
Belajar Sejarah
Aku duduk di sini, di hadapan wajah-wajah dari seluruh tempat yang tak pernah kudengar namanya
Di hadapan mereka, kuujar masa lalu, kubentangkan tikar yang terjalin dari derita dan asap tubuh terbakar
Dan di papan tulis kububuhkan semangat dari kata-kata dan perlawanan tanpa melakukan apa-apa
Mereka bertanya mengenai dunia penuh ancaman dan kepalan yang setiap hari dijalani penuh debar
Mengatup mulut, mencoba ingat apa yang dikatakan batu-batu tua saat aku bersimpuh meminta ilham
Merapatkan tangan, mencoba ingat apa yang lembar-lembar tua katakan saat kami berkencan di suatu malam
Jawaban kemudian datang dari rembulan, pendengar setia cerita si tua bumi mengenai bekas-bekas luka di tubuhnya
Namun, jawaban belum bisa menuntaskan penasaran mengenai ribuan episode
lampau di mana manusia bertindak sebagai sutradara
Ketika majelis ini berakhir dan semua pulang ke rumah masing-masing, aku kembali ke kamarku sebuah ruangan penuh abu hasil pembakaran berkas berisi fakta
Aku berpura-pura kalau itu semua tidaklah nyata
(Makassar, Mei 2016)
______________________________
Blues Rindu Para Sufi
Berselimut waktu dan trauma
biarkan awan mendung menjadi selendang permata
dan senja adalah bayang senyummu yang abadi
Manakala kita enggan bertemu
cukuplah kita mencuri pandang dari jauh
dan kala engkau tertidur, jangan lupa rasukkan wajahku
(oh cinta, cintaku, cinta-Mu)
Sebagaimana mencintaimu adalah dera
maka membayangkanmu serupa siksa dunia
berhenti mencari bukan pilihan bijak, aku merasuk dalam jangkauan-Mu
Sebuah perjalanan menuju diri-Mu
begitu panjang, begitu lelah, begitu peluh
beri aku kekuatan agar aku sanggup mencapai pelukan-Mu
(oh cinta, cintaku, cinta-Mu)
Dirimu mawar, Diri-Mu mawar
menahan rinduku padamu, menahan rinduku pada-Mu
(Makassar, Juni 2016)
______________________________
Mengunjungi Rindang Malam
Sengaja kau hembus bisikanmu
dari celah dedaunan yang menjalar hingga beranda
ada keengganan untuk memangkasnya
sebab dibawahnya kuteduhkan lelakiku
Aku tahu kita bukan kanak-kanak lagi
maka untuk malam ini, kau kubiarkan sembunyi
(Kaluppini, 21 Juli 2016)