Menunggu Giliran Wawancara (Puisi-puisi Achmad Hidayat Alsair di Sediksi, Senin 28 November 2016)

Achmad Hidayat Alsair
5 min readMar 2, 2017

--

Ada sembilan puisi saya yang tayang di kanal “Rasa” situs obrolan santai Sediksi.com pada hari Senin, 28 November 2016. Tautan menuju artikel : http://sediksi.com/2016/11/28/puisi-puisi-achmad-hidayat-alsair/. Berikut ini salinan seluruh puisi tersebut.

______________________________

Menunggu Giliran Wawancara

Dingin lantai, kehendak rebah serta mengumpati tanah liat becek

yang meningkahi kaki-kaki menuju tempat dudukku sekarang.

Antrian lagi, jenjangku tegak mencoba menanggung beban

hasil dari gantungan pemberat di kedua kelopak mata. Merambat hingga ke pinggang.

Menulis nama, jemariku membahas cara mengukir kalimat tanya

sesudah tanda seru, membuat perintah setelah melewati daun jendela dan pintu.

Duduk kembali, benakku telah kehabisan kata umpatan

hanya menggambar benih awan mendung di atas permukaan lantai merah jambu.

Melihat jam berputar, menangisi satu-satunya jalan keluar dari tempat ini,

waktu akan memberi struk rincian berapa lama dirinya dinikmati.

Mendengar nama dipanggil, memisahkan siapa yang dominan dan resesif

serta siapa yang sanggup terus menerus bertanya tanpa henti.

Secarik kertas harus ditulis, tinta hitam kujadikan juru bicara

untuk kebohonganku, tak mampu melicinkan jawaban dari muara lidah.

Ketika selesai, hanya ada kesenggangan antara penantian dan pengumuman.

Menjadi sebuah pekerjaan sulit untuk menjaganya tidak berpisah.

Makassar, Juni 2016

______________________________

Manuskrip Bincang Astral

(catatan setelah mendengar lagu Agalloch)

Kami meruntuhkan menara Babel hingga puing

membakar peradaban, mengulangnya kembali dari nol

dari langit dijatuhkan kosa-kata, sayap malaikat jadi tameng

bebaskan mulut-mulut dari rerantai dan sumpal bekap

Tuhan berbahasa dari sisi bibir yang berlainan

meyakinkan bintang-bintang untuk tetap abadi

guratan luruhnya darah keperawanan zaman

cerahkan benak calon benih penerus para lelaki

Atas nama gerak semesta tanpa bersemangat

kami pahat simbol-simbol senjakala panorama

suguhkan baris peraturan tata cara berbahasa

hingga lidah memekik “aku butuh istirahat!”

Makassar, Juni 2016

______________________________

Rima-Rima Komparasi

Kelaparan adalah lelaki kurus yang berjingkat-jingkat dalam kegelapan untuk mencari jejaknya, dalam lorong penuh bangkai bekas santapan nasi .

Kekenyangan adalah pemuda yang gemar bersenda gurau dalam sebuah majelis bernama kebosanan, anggotanya berpakaian kedodoran warna kelabu.

Kedermawanan adalah pelancong yang selalu berdiri di perempatan lampu merah sembari bernyanyi hal-hal yang sangat elok dinikmati.

Keserakahan adalah tukang tenung yang merayu seorang perawan tua untuk berlari mengelilingi kuburan bekas pacarnya saat masih muda dulu.

Kebaikan adalah gadis manis tanpa riasan yang membakar sebuah perkampungan padat penduduk agar pesonanya membara tanpa jeda.

Kejahatan adalah anak kecil dengan mainannya yang sangat gemar menyakiti binatang melata dengan menggunakan kata-kata jenaka.

Keriangan adalah irama musik tanpa lirik bersenjata seribu penggumam karena kata-kata tersangkut di tepi mulut tertutup rapat lakban.

Kesedihan adalah iringan awan cerah penunggu senja di tengah penantian akan datangnya badai untuk meminta ijin menuju daratan.

Aku adalah sebuah esensi yang menapaki tanah dalam jarak satu-dua inci sebagai imbalan atas kehadiranku di serapahnya dunia.

Kamu adalah tiga puluh hari yang menghiasi almanak tua, jika titimangsa telah lewat lembarannya enggan kurobek sekuat tenaga.

Lagi-lagi, dirimu dan ketidakmampuanku menjadi perpaduan sempurna.

Makassar, Juni 2016

______________________________

Babad Epik Nekad

Kau berenang dalam kolam pecahan kaca

mengubahnya menjadi sesenti nirwana

Apa yang tergurat di kulit nanti?

Apa ini tak terlalu cepat terjadi?

Berbaringlah, kami akan menggotongmu

menuju sebuah kamar pasungan tergelap

Di sana kita akan tertawa ria

dan dari luar terdengar suara tangisan ibu

Yang itu aku tak mau tahu

Bagaimana jika aku tenggelam?

Akan kuraih gerigi bintang, niscaya aku selamat.

Bagaimana jika aku beku dan diam?

Akan kugapai kubah-kubah menyala, itu nubuat.

Dan kini aku memainkan piano, merdu

tunda dulu prosesi memotong seluruh jemariku

Makassar, Juni 2016

______________________________

Revisi Pembelajaran Sejarah

Kuganti Helen dengan Juliet

kalang kabutlah Homerus karena Achilles mati minum racun

Kuganti Nazi dengan Sparta

kalang kabutlah sekutu karena mereka berperang memakai cawat

Kuganti mesin Enigma dengan Hieroglyph

kalang kabutlah mata-mata karena harus kursus tambahan tiga tahun

Kuganti VOC dengan EIC

kalang kabutlah Van Neck karena kesasar ke tanah Australia pada hari Jumat

Kuganti Union Jack dengan Tricolore

kalang kabutlah George Washington melihat pasukannya minum kopi di café pada sore hari

Kuganti minyak dengan rempah-rempah

kalang kabutlah Sultan Saud karena tiap hari menjamu orang Eropa

Kuganti Stalin dengan Gandhi

kalang kabutlah Marx karena Das Kapital digolongkan novel roman-tragedi

Kuganti Palestina dengan Vietnam

kalang kabutlah Ben Gurion karena pasukannya tepar diserang malaria

Aku pemenang perang

humor ialah tirani dengan singgasana paling lapang

Makassar, Mei 2016

______________________________

Perihal Segala yang Mengalir

Masih ada sisa daftar hal yang lupa kau semai :

malam pengucap doa-doa keselamatan

dan kelihaian kata guna menawar waktu

untuk kembali pada pangkuanmu

Segala siasat pada akhirnya akan lepas

bergabung memeluk genangan hujan

basah, kemudian resap sampai tandas

sembari perintah agar engkau hanyutkan diri

Aliran peluhmu lupa untuk dibendung

maka kesiap menuju daratan rendah

percakapan dalam riuh suara arus

ada sesak ingin melempar sauh

di wajahmu

Enrekang, Juli 2016

______________________________

Nubuat Malam Pertama

Sepanjang malam, lolongan anjing

sepanjang jalan, sepi lingkupi

beranjak dari rumah ke rumah

beringsut pelan senti demi senti

Nyanyian kepada bentang sawah

dan laut yang tak lagi nampak

begitu jauh dari tempak pijak

begitu jauh dari pelupuk mata

Semak, pohon dan segala pematang

menuju keliaran penghuni rerantingnya

lupa untuk kami dikendalikan

dan kemudian lupa untuk ditidurkan

Berkelok dan temurun, tersuruk

sisiran gerai rambut tidak tertata

sembunyikan magis dari amatan

dari kami, pengintip dalam penasaran

Kaluppini, Juli 2016

______________________________

Ada Risau Meliar di Sana

Apa yang sedang kau tunggu?

Suaraku serak memanggilmu

terlalu pelan bahkan untuk berbisik

tersisa leher begitu kehausan

Ada jerapah termangu di halaman rumah

ada juga laba-laba sarangkan resah

kemudian dia pasang rajah di tanganmu

sedikit demi sedikit, mau tak mau

Di hutan, lebih banyak menanti

segala isinya menolak dikandangkan

malu pada matahari dan sinarannya

malu pada bintang dan rahasianya

Nanti pada pinggiran sungai di lembah

kupancang segenap risau dalam kelebatan

menanti suatu saat dia akan tumbuh

menjalar jauh hingga pintu kamarmu

Kaluppini, Juli 2016

______________________________

Efek Samping Menggunakan Kamar Tidur

Kita membeli lampu untuk sebuah kamar

kemudian menukarnya demi sebuah lilin

kehangatan jelas tidak mungkin dibiarkan

terendap di bawah sayap capung tersesat

Pada beberapa hal yang kita ingat karena terjadi

hanya ada suara kepik dalam ruang gelap

dan suara halus dengkuranmu saat tidur siang

memilih beristirahat karena dingin oleh hujan

Karena sesuatu kita memilih menutup pintu kamar

kemudian memecahkan jendela untuk udara

agar engkau bisa bernafas kemudian asma

agar aku bisa menggendongmu ke rumah sakit

Kemudian nanti jika senja terlalu menyala

akan kututup kasurmu dengan terpal hitam

kemudian kau mengeluh karena kepanasan

lalu membakar rumahmu agar semua lenyap

Lama kelamaan hanya ada merah dan hitam

timbul tenggelam dari kantung matamu

Kaluppini, Juli 2016

--

--