Menunggu Giliran Wawancara (Puisi-puisi Achmad Hidayat Alsair di Sediksi, Senin 28 November 2016)
--
Ada sembilan puisi saya yang tayang di kanal “Rasa” situs obrolan santai Sediksi.com pada hari Senin, 28 November 2016. Tautan menuju artikel : http://sediksi.com/2016/11/28/puisi-puisi-achmad-hidayat-alsair/. Berikut ini salinan seluruh puisi tersebut.
______________________________
Menunggu Giliran Wawancara
Dingin lantai, kehendak rebah serta mengumpati tanah liat becek
yang meningkahi kaki-kaki menuju tempat dudukku sekarang.
Antrian lagi, jenjangku tegak mencoba menanggung beban
hasil dari gantungan pemberat di kedua kelopak mata. Merambat hingga ke pinggang.
Menulis nama, jemariku membahas cara mengukir kalimat tanya
sesudah tanda seru, membuat perintah setelah melewati daun jendela dan pintu.
Duduk kembali, benakku telah kehabisan kata umpatan
hanya menggambar benih awan mendung di atas permukaan lantai merah jambu.
Melihat jam berputar, menangisi satu-satunya jalan keluar dari tempat ini,
waktu akan memberi struk rincian berapa lama dirinya dinikmati.
Mendengar nama dipanggil, memisahkan siapa yang dominan dan resesif
serta siapa yang sanggup terus menerus bertanya tanpa henti.
Secarik kertas harus ditulis, tinta hitam kujadikan juru bicara
untuk kebohonganku, tak mampu melicinkan jawaban dari muara lidah.
Ketika selesai, hanya ada kesenggangan antara penantian dan pengumuman.
Menjadi sebuah pekerjaan sulit untuk menjaganya tidak berpisah.
Makassar, Juni 2016
______________________________
Manuskrip Bincang Astral
(catatan setelah mendengar lagu Agalloch)
Kami meruntuhkan menara Babel hingga puing
membakar peradaban, mengulangnya kembali dari nol
dari langit dijatuhkan kosa-kata, sayap malaikat jadi tameng
bebaskan mulut-mulut dari rerantai dan sumpal bekap
Tuhan berbahasa dari sisi bibir yang berlainan
meyakinkan bintang-bintang untuk tetap abadi
guratan luruhnya darah keperawanan zaman
cerahkan benak calon benih penerus para lelaki
Atas nama gerak semesta tanpa bersemangat
kami pahat simbol-simbol senjakala panorama
suguhkan baris peraturan tata cara berbahasa
hingga lidah memekik “aku butuh istirahat!”
Makassar, Juni 2016
______________________________
Rima-Rima Komparasi
Kelaparan adalah lelaki kurus yang berjingkat-jingkat dalam kegelapan untuk mencari jejaknya, dalam lorong penuh bangkai bekas santapan nasi .
Kekenyangan adalah pemuda yang gemar bersenda gurau dalam sebuah majelis bernama kebosanan, anggotanya berpakaian kedodoran warna kelabu.
Kedermawanan adalah pelancong yang selalu berdiri di perempatan lampu merah sembari bernyanyi hal-hal yang sangat elok dinikmati.
Keserakahan adalah tukang tenung yang merayu seorang perawan tua untuk berlari mengelilingi kuburan bekas pacarnya saat masih muda dulu.
Kebaikan adalah gadis manis tanpa riasan yang membakar sebuah perkampungan padat penduduk agar pesonanya membara tanpa jeda.
Kejahatan adalah anak kecil dengan mainannya yang sangat gemar menyakiti binatang melata dengan menggunakan kata-kata jenaka.
Keriangan adalah irama musik tanpa lirik bersenjata seribu penggumam karena kata-kata tersangkut di tepi mulut tertutup rapat lakban.
Kesedihan adalah iringan awan cerah penunggu senja di tengah penantian akan datangnya badai untuk meminta ijin menuju daratan.
Aku adalah sebuah esensi yang menapaki tanah dalam jarak satu-dua inci sebagai imbalan atas kehadiranku di serapahnya dunia.
Kamu adalah tiga puluh hari yang menghiasi almanak tua, jika titimangsa telah lewat lembarannya enggan kurobek sekuat tenaga.
Lagi-lagi, dirimu dan ketidakmampuanku menjadi perpaduan sempurna.
Makassar, Juni 2016
______________________________
Babad Epik Nekad
Kau berenang dalam kolam pecahan kaca
mengubahnya menjadi sesenti nirwana
Apa yang tergurat di kulit nanti?
Apa ini tak terlalu cepat terjadi?
Berbaringlah, kami akan menggotongmu
menuju sebuah kamar pasungan tergelap
Di sana kita akan tertawa ria
dan dari luar terdengar suara tangisan ibu
Yang itu aku tak mau tahu
Bagaimana jika aku tenggelam?
Akan kuraih gerigi bintang, niscaya aku selamat.
Bagaimana jika aku beku dan diam?
Akan kugapai kubah-kubah menyala, itu nubuat.
Dan kini aku memainkan piano, merdu
tunda dulu prosesi memotong seluruh jemariku
Makassar, Juni 2016
______________________________
Revisi Pembelajaran Sejarah
Kuganti Helen dengan Juliet
kalang kabutlah Homerus karena Achilles mati minum racun
Kuganti Nazi dengan Sparta
kalang kabutlah sekutu karena mereka berperang memakai cawat
Kuganti mesin Enigma dengan Hieroglyph
kalang kabutlah mata-mata karena harus kursus tambahan tiga tahun
Kuganti VOC dengan EIC
kalang kabutlah Van Neck karena kesasar ke tanah Australia pada hari Jumat
Kuganti Union Jack dengan Tricolore
kalang kabutlah George Washington melihat pasukannya minum kopi di café pada sore hari
Kuganti minyak dengan rempah-rempah
kalang kabutlah Sultan Saud karena tiap hari menjamu orang Eropa
Kuganti Stalin dengan Gandhi
kalang kabutlah Marx karena Das Kapital digolongkan novel roman-tragedi
Kuganti Palestina dengan Vietnam
kalang kabutlah Ben Gurion karena pasukannya tepar diserang malaria
Aku pemenang perang
humor ialah tirani dengan singgasana paling lapang
Makassar, Mei 2016
______________________________
Perihal Segala yang Mengalir
Masih ada sisa daftar hal yang lupa kau semai :
malam pengucap doa-doa keselamatan
dan kelihaian kata guna menawar waktu
untuk kembali pada pangkuanmu
Segala siasat pada akhirnya akan lepas
bergabung memeluk genangan hujan
basah, kemudian resap sampai tandas
sembari perintah agar engkau hanyutkan diri
Aliran peluhmu lupa untuk dibendung
maka kesiap menuju daratan rendah
percakapan dalam riuh suara arus
ada sesak ingin melempar sauh
di wajahmu
Enrekang, Juli 2016
______________________________
Nubuat Malam Pertama
Sepanjang malam, lolongan anjing
sepanjang jalan, sepi lingkupi
beranjak dari rumah ke rumah
beringsut pelan senti demi senti
Nyanyian kepada bentang sawah
dan laut yang tak lagi nampak
begitu jauh dari tempak pijak
begitu jauh dari pelupuk mata
Semak, pohon dan segala pematang
menuju keliaran penghuni rerantingnya
lupa untuk kami dikendalikan
dan kemudian lupa untuk ditidurkan
Berkelok dan temurun, tersuruk
sisiran gerai rambut tidak tertata
sembunyikan magis dari amatan
dari kami, pengintip dalam penasaran
Kaluppini, Juli 2016
______________________________
Ada Risau Meliar di Sana
Apa yang sedang kau tunggu?
Suaraku serak memanggilmu
terlalu pelan bahkan untuk berbisik
tersisa leher begitu kehausan
Ada jerapah termangu di halaman rumah
ada juga laba-laba sarangkan resah
kemudian dia pasang rajah di tanganmu
sedikit demi sedikit, mau tak mau
Di hutan, lebih banyak menanti
segala isinya menolak dikandangkan
malu pada matahari dan sinarannya
malu pada bintang dan rahasianya
Nanti pada pinggiran sungai di lembah
kupancang segenap risau dalam kelebatan
menanti suatu saat dia akan tumbuh
menjalar jauh hingga pintu kamarmu
Kaluppini, Juli 2016
______________________________
Efek Samping Menggunakan Kamar Tidur
Kita membeli lampu untuk sebuah kamar
kemudian menukarnya demi sebuah lilin
kehangatan jelas tidak mungkin dibiarkan
terendap di bawah sayap capung tersesat
Pada beberapa hal yang kita ingat karena terjadi
hanya ada suara kepik dalam ruang gelap
dan suara halus dengkuranmu saat tidur siang
memilih beristirahat karena dingin oleh hujan
Karena sesuatu kita memilih menutup pintu kamar
kemudian memecahkan jendela untuk udara
agar engkau bisa bernafas kemudian asma
agar aku bisa menggendongmu ke rumah sakit
Kemudian nanti jika senja terlalu menyala
akan kututup kasurmu dengan terpal hitam
kemudian kau mengeluh karena kepanasan
lalu membakar rumahmu agar semua lenyap
Lama kelamaan hanya ada merah dan hitam
timbul tenggelam dari kantung matamu
Kaluppini, Juli 2016