Nazara, Mengenang Masa Kecil (Puisi-puisi Achmad Hidayat Alsair di WartaLambar, Sabtu 29 September 2016)
--
Ada lima puisi saya yang tayang di kanal “Puisi” situs berita daring regional Lampung Barat, WartaLambar.com pada Sabtu 29 September 2016. Tautan menuju artikel : http://www.wartalambar.com/2016/09/puisi-karya-achmad-hidayat-alsair.html. Berikut salinan puisi-puisi tersebut.
_____________________________
PIKNIK DI PELABUHAN
Kita sudah tiba di sebuah bandar
tak ada penumpang, tak ada kapal layar
hanya diriku yang berputar-putar
memotret laut jika lupa kugambar
Kita tidak berniat mencuci geladak
sebab penjelajahan membuka perpisahan
senja kau teguk hingga tersedak
riak ombak sanggup runtuhkan jembatan
Begitu riuh, kita bentang kain piknik
bertukar cerita perihal camar bersayap lentik
sore ini pancaranmu merayap lembut bagai bisik
begitu nyalang hingga tak sanggup kulirik
Malam tiba begitu lambat
dan di nadiku, desir kian menghebat
Makassar, Juni 2016
______________________________
MENGENANG MASA KECIL
Mengenang masa kecilku
sebuah lorong panjang bercahaya temaram
di ujung ada dirimu, siap memijati bahuku
Mengenang masa kecilmu
berlarian bersama sayapmu yang kuncup
menunggu mekar, tapi bukan oleh waktu
Makassar, 11 Juni 2016
______________________________
NAZARA
Hanya padamu aku melepas penat
dari kejaran suara bising perkotaan
kugantung serakan rindu pada senja
Ketika termangu di perapian
satu persatu keping dirimu bertamu
bertanya kenapa potretnya masih kusimpan
di rumahku yang memiliki seribu pintu
Aku terdiam, tanpa narasi
Aku terdiam, sepi menambah bara api
Makassar, 11 Mei 2016
______________________________
DAHAGA
Kuatmu menahan rasa, kagum
dan kukumu digerus oleh bebatuan
yang terpekur di pinggir telaga
Reranting mulai mengucap, tanya
abai kepada debu yang bertamu
gemerisik hari dicumbu almanak
Tetesan air ingin cerai, khayal
henti mengalir dan merayu surya
ragaku mulai gemetar oleh terjangan
Kau apungkan aku di lautan tanpa senja
Makassar, 11 Mei 2016
______________________________
TERJAGA
Ini bukan kopi yang kusesap tadi, lebih perih
Ini bukan susu yang kumuntahkan tadi, lebih manis
Dari kejauhan kulihat mereka berpesta pora
mataku mulai nyalang, merajam dirinya
Tidak ada teduh yang tepat kecuali selimut
di dalamnya terbaring daging berpeluh mendung
Makassar, 26 Mei 2016