Sakit Seorang Pawang Hujan (Puisi-puisi Achmad Hidayat Alsair di Fajar Makassar, Minggu 28 Mei 2017)
--
Ada dua puisi saya yang dimuat di rubrik “Budaya” harian Fajar Makassar edisi Minggu , 28 Mei 2017. Di lembar sama turut dimuat pula cerpen karya Osella berjudul “Oapako”, puisi dari bang Arif Hukmi berjudul “Surat dari Jeruji” dan apresiasi dari Bayu Firmansyah berjudul “Mencari Identitas Budaya Kota Makassar”. Berikut salinan puisi-puisi tersebut.
______________________________
Sakit Seorang Pawang Hujan
Aku tidak bisa terus merawat hujan dan anak-anaknya
di saat kalender pamit pergi mandi setelah duabelas bulan
menjadi pajangan, bertugas membantuku menghafal hari-hari penting :
hari angin berubah haluan menuju tempat-tempat asing
yang bahkan tidak pernah guruku sebut di bangku sekolah,
hari kawanan burung camar menghindari kota dan malas migrasi
sebab ranting-ranting penyusun sarang menjadi tempat hangat tersisa,
hari pantai tenggelam setelah butiran pasir disentuh tangan badai
dan menghapus dermaga dari tempatnya dulu dipotret orang-orang
Di rumah sakit, dokter dan perawat berdebat sengit hingga larut malam
aku butuh perawatan namun obatnya hanya tegukan biji mendung
bercampur saripati cahaya kunang-kunang di musim kawin
Tubuhku kepayahan dan berlubang di sana-sini
senja menderaku dengan tombak-tombak cahaya gemerlap
terlalu tajam, selama ini bentuk pedang hanya kutahu dari etalase toko mainan
Padahal ibuku telah mengajarkan cara membedakan musim
melalui tarian rasi bintang dan noda-noda pada tubuh purnama
tiap hari kelima belas, di antara deru pesawat ingin mendarat
dan tatapan tajam kucing jantan yang terlalu lama kesepian
Hai, mungkin kau tahu cara mencuri secuil kulit jantung surya pagi
setelah senja mencukur habis rambut dan semangat beliaku
kita bisa pajang dia sebagai pasangan lampu neon di kamar
sebelum malam tergelap diutus mensucikan rumah-rumah di ibukota
Tunggu, bisa kau ganti tabung infus?
Anak-anak hujan telah beku di saluran nadiku
(Makassar, Mei 2017)
______________________________
Seni Menyeberang Jalan
Jadi, kusarankan pasang kuda-kuda dulu
kita tidak berniat menantang aparat di pos jaga
ruas-ruas jalanan juga bukan kawasan rimba liar
tapi di bentang aspal ini sering kutumpah macam-macam warna
sering diliput tayangan dokumenter larut malam
Lambaian tangan sudah hilang khasiat manjurnya
supir sudah lupa alamat kekasihmu yang paling cantik
lama tak bersua, bensin menyaru jelma keringat
persimpangan antara sunyi rumah dan dentum bengkel
kadang rumah sakit diikuti rumitnya asuransi mengingat nama
Jangan tergesa, tengok segala arah
bahkan pohon tumbang hendak pamer jumawa
pada pelangkah linglung karena terlalu banyak mendengar omelan
langit pun fasih meringis saksikan rutinitas pulang kerja
lampu lalu lintas hanya bertugas memberi kita kursus singkat kesabaran
Menyeberanglah, pelan saja
jangan takut, kita jauh dari gelanggang perang
(Makassar, November 2016)