Santa Lucia

Achmad Hidayat Alsair
1 min readApr 26, 2018

--

(Unsplash.com/josilito)

Untuk Napoli, Tom, dan Jerry

“Angin lembut membelai laut,

hanyutkan dalam sepoi,

dan azimut menari teramat riang”

Itu perahu, lalu kata-kata dalam rumah kura-kura

mengintip laut sebagai cara menjalani hidup,

setiap hari adalah ruangan sempit, tempatmu kembali

menyiangi ombak yang selalu menitipkan terima kasih

“Menyerahlah dengan rasa bangga,

sebab siang adalah sukacita,

sementara malamnya begitu khidmat”

Maka silakan berangkat, aku melepasmu selalu sebagai anak-anak

dari sini, rahimku terlalu luas untuk kita berdua

ketahuilah bahwa rasa haus telah lama terdampar

jauh dari ujung kerongkongan tempatnya harus mati

“Santa Lucia! Santa Lucia!

Datanglah berkunjung!

Ke lambung perahu!”

Suatu hari sebelum kemarau, kau gurat payah satu nafas

pada tiang dermaga, mencegah ubur-ubur arungi dadamu

(rupanya pernah kau baca puluhan sengat berbunyi macam sirene patroli)

Teruslah berenang sampai daratan mengakui nyerimu sekali lagi

(Makassar, 2017–2018)

--

--