Sebab Mengenang Mattoanging Adalah Tugas Kita Semua
“Humans, not places, make memories.” — Ama Ata Aidoo, sastrawan Ghana.
Rabu 21 Oktober 2020 jam tujuh pagi, saat sebagian penduduk Kota Makassar masih mengucek mata dan belum bangkit sepenuhnya dari kasur, salah satu bangunan bersejarah memulai fase barunya.
Stadion Andi Mattalatta Mattoanging resmi dibongkar oleh Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan. Satu ayunan excavator yang dikendalikan Gubernur Nurdin Abdullah ke tangga Gate 4 Tribun Utama, jadi penanda proses awal dari dua tahun renovasi besar-besaran.
Sebagai suporter, ini tentu saja jadi kabar yang melegakan. Bagi sepak bola modern yang mengutamakan fasilitas kaliber “wah”, stadion berkapasitas 15 ribu penonton itu jelas jauh dari kata standar. Tentu jadi sebuah keajaiban (sekaligus bencana) menilik fakta bahwa PSM Makassar setia menggunakan venue PON IV 1957 tersebut. Alasannya? Tak ada stadion sebesar Mattoanging di sekitar ibu kota provinsi (mari pinggirkan sementara Stadion Barombong).
Kita tentu sering mendapati komentar-komentar nakal dari jemari warganet +62 perihal Mattoanging. Ingin naik pitam? Apa yang mereka katakan memang benar. Rasanya pedas pula dan memerihkan mata. Yang kita perbuat hanya bersabar menunggu perubahan datang, seperti yang dilakukan penduduk negara berkembang pada umumnya.
Bagi saya pribadi, Mattoanging adalah sebuah tempat penuh magis. Di balik temboknya yang kusam dimakan usia, ada ambisi menyalak dengan garang. Tribun penonton boleh saja tak setinggi stadion-stadion kontestan Liga 1 lainnya. Namun, jangan ragukan level kebisingan yang mereka produksi secara massal sejak menit pertama sepak mula.
Semua capo (pemimpin) kelompok suporter yang berdiri di pagar pembatas memberi komando serta teror untuk tim-tim tamu. Di bawah mereka, semua teriakan dan koreografi dikoordinasi secara runut lagi mempesona. Dari kejauhan, lautan merah di tribun adalah sinonim dari pesta pora kemenangan atau duka lara mendalam.
Pasang surut dan banting tulang menurut saya adalah sebuah kata yang tepat. Tak peduli sesempit apa deadline, setipis apa isi dompet, seribet apa tugas sekolah/kuliah, semencemaskan apa hubungan asmara, semua masih menyempatkan diri datang dan duduk (lebih sering berdiri) menyaksikan Juku Eja menjamu tamunya. Saya, Anda, mereka dan kita semua menjalaninya tanpa pamrih.
Harus diakui, saya sangat terlambat berkenalan langsung dengan Mattoanging. Selama ini saya hanya melihatnya lewat foto, menontonnya lewat layar kaca atau membayangkan gemuruhnya lewat siaran RRI Programa 2 Makassar.
Saya berasal dari daerah yang klub-klubnya minim riwayat keterlibatan di kasta teratas bal-balan nasional. Hiburan di lapangan hijau datang dari duel tarkam atau kompetisi Liga 3 yang rutin diputar sejak 2017 (kecuali tahun ini sebab amuk pandemi COVID-19). Alhasil, melihat langsung PSM berlaga di Mattoanging adalah sebuah mimpi semua “anak kampung.”
Kesempatan itu akhirnya datang pada Senin 19 Juni 2017 malam. PSM, yang saat itu bertengger di papan atas klasemen sementara Liga 1, menjamu Borneo FC. Berkat boncengan motor teman akrab sejak semester pertama sebagai mahasiswa, kami mendapati diri malam itu berdesakan dengan ratusan penonton lain di tribun terbuka.
Di bawah guyuran hujan bulan Juni (ingat puisi mendiang Sapardi Djoko Damono?), saya mengalami sendiri euforianya. Mulai dari lontaran makian banal yang tertuju langsung ke lapangan, tepuk tangan dan decak kagum saat menyaksikan Wiljan Pluim beraksi bak penyihir namun bersepatu Nike, ditambah upaya tak kenal lelah Marc Klok mengawal lapangan tengah.
Beruntung malam itu kami pulang tidak dengan muka tertunduk. PSM menang dengan skor 1–0, berkat eksekusi penalti Reinaldo Elias da Costa di babak kedua. Semua berhasil didapat dengan Rp30 ribu untuk tiket, Rp10 ribu untuk makanan yang disantap langsung dari warung dadakan dekat pagar pembatas, serta Rp2 ribu untuk plastik kresek yang amankan ponsel dari air hujan. Kami, dan ribuan orang lain pulang dengan gembira, serta tubuh basah kuyup.
Setelahnya, saya beberapa kali kembali ke Mattoanging. Namun momen mengesankan kedua terjadi saat meliput final leg kedua Piala Indonesia 2018/19. Saya turut menyaksikan langsung raut wajah kecewa ribuan suporter saat Persija memutuskan kembali ke Jakarta atas alasan keamanan. Padahal banyak yang telah datang jauh-jauh dari luar daerah, seperti Lombok dan Papua. Kecintaan pada klub memanggil mereka pulang, meski hanya beberapa hari.
Leg kedua dijadwal ulang, Selasa 6 Agustus 2019 pun dipilih. Saat berangkat ke stadion, editor telah mewanti-wanti untuk waspada akan potensi rusuh. Benar saja, sejumlah mobil pengurai massa dan ratusan personel kepolisian telah berjaga di dalam dan luar stadion saat saya tiba. Beruntung, tak ada kejadian gawat sore itu.
Demi mengejar ketertinggalan 1–0 usai leg pertama, Wiljan Pluim dkk langsung tancap gas. Macan Kemayoran tak dibiarkan leluasa bermain-main dengan bola. Tak butuh waktu lama, PSM mencetak gol penyama agregat lewat Aaron Evans pada menit ketiga. Saya masih ingat pelatih kepala saat itu, Darije Kalezic, melepas segala kekhawatiran dengan selebrasi paling riang di pinggir lapangan.
Sang Dutchman seolah percaya bahwa di balik tribun reyot beratap karatan ini, tersimpan energi yang dibutuhkan untuk membalikkan keadaan. Berkali-kali ia meminta penonton di tribun utama untuk lebih mengencangkan desibel yel-yel dukungan lewat gestur tangannya. Ketika sundulan Zulham Zamrun mengoyak gawang Adritany Ardhiyasa di menit ke-50, saya mendengar sorakan selebrasi paling keras yang bisa kuping saya tahan sejauh ini. Agregat berbalik 2–1 untuk PSM, impian trofi pertama sejak tahun 2000 selangkah lagi jadi kenyataan.
Sesaat usai peluit panjang ditiup oleh wasit Fariq Hitaba, sorakan membahana sekali lagi, lalu berubah menjadi tangis bahagia. Saya mengerti. Pesta trofi Ligina VI musim 2000 dirasakan oleh segelintir orang yang beruntung, lantaran partai puncak berlangsung di Stadion Utama Gelora Bung Karno Jakarta, arena olahraga paling megah milik republik ini.
Tak ada yang menyangka, stadion uzur peninggalan Orde Lama ini didaulat jadi saksi bisu raihan trofi nasional ke delapan sejak PSM eksis tahun 1915, sekaligus gelar Piala Indonesia perdana. Dari Mattoanging, pesta pertama dalam nyaris dua dekade bergulir dan sampai ke gang-gang sempit Kota Makassar. Saya larut, membaur dengan nyaring klakson kendaraan ditambah letup kembang api. Di bawah gerbang utara, saya ikut menitikkan air mata.
Kemarin, Mattoanging menutup lembar lama yang sudah berjalan selama 63 tahun. Jelas ada perasaan emosional turut membuncah di benak seluruh suporter PSM. Sedikit banyak mengingatkan pada yang dialami Jakmania, ketika Stadion Lebak Bulus harus digusur pada tahun 2013.
Tuntutan modernisasi lambat laun pasti terkabul. Mattoanging bagai lansia tua renta yang tak sanggup mengejar zaman. Ia harus memasuki fase metamorfosis, berubah sebagai hal baru dan mengabulkan impian lebih dari 1,3 juta penduduk Makassar akan kehadiran arena olahraga berstandar internasional.
Kenangan lama memang akan terpatri meninggalkan bekas. Bagaimana pun stadion ini sudah menemani PSM selama nyaris tujuh dekade. Arsitek Mattoanging baru mengaku telah menyiapkan sebuah segmen tribun berisi 200 kursi lawas, jika sewaktu-waktu ada yang ingin mengunjungi mozaik dari arena bersejarah yang sempat berdiri gagah.
Namun, seperti apa yang dikatakan oleh Ama Ata Aidoo sebagai pembuka artikel ini, tempat dan bangunan tak menyuplai memori untuk diingat. Tugas merancang, merakit, menjahit serta menyortir kenangan atas sederet peristiwa yang dialami di sebuah tempat jadi wewenang manusia sepenuhnya.
Teman-teman, siapkan satu tempat yang cukup luas di dalam benakmu. Izinkan si tua Stadion Mattoanging bersemayam di situ selama-lamanya.
(Tulisan ini sudah pernah dimuat di situs literasi sepak bola Sulawesi Selatan, Pagolo.net : https://www.pagolo.net/2020/10/22/sebab-mengenang-mattoanging-adalah-tugas-kita-semua/)