Sebuah Sore di Kedai Kopi

Achmad Hidayat Alsair
2 min readNov 2, 2016

--

(republika.com)

Duduk aku sendirian di sebuah kedai kopi yang terletak di jalan imajiner dekat gang khayali.

Waktu senja abadi membuat banyak melintas bayang-bayang dalam semburat jingga.

Aku melihat bayang-bayang tersebut melintas tanpa hambatan jalan imajiner yang berarti.

Berkali-kali kusesap kopi susu yang disajikan oleh bayang masa lalu dan tak berkurang jua.

Tiba-tiba muncul dirimu dalam versi yang lebih jelita daripada yang bisa diingat otak ini.

Kau duduk berbicara mengenai apa-apa yang telah kita lakukan dan baru dalam rencana.

Rupanya kau masih ingat saat kita iseng menantang Isaac Newton jalan kaki mengelilingi bumi.

Dan sekarang kau berencana silaturahmi dengan Sinterklas jauh-jauh ke Kutub Utara.

Suara-suara jernihmu memantul di dinding-dinding kedai kopi imajiner yang tak pernah sepi ini.

Mengiang-ngiangkan berbagai hal yang keluar dari lidah dan seolah tak pernah ada habisnya.

Kau bicara kebakaran hutan, konflik Suriah, krisis Yunani, korupsi dinasti politik, bahkan Pemilu Kanada.

Kau bergurau mengenai kumis Hitler, musim panas berkepanjangan, bahkan proses rusaknya penanak nasi.

Aku rindu pada saat-saat seperti ini, saat bercengkerama dengan dirimu dalam versi lebih jelita.

Dan saat kau pamit undur diri, aku kembali menyesap kopi susu yang tak pernah habis ini seorang diri.

(Makassar, 1 November 2015)

(Pernah dimuat di Kolom Puisi Koran Identitas Universitas Hasanuddin, No. 854, tahun XLII, edisi awal Maret 2016)

--

--

Achmad Hidayat Alsair

Percaya bahwa tidur siang lebih berguna daripada begadang.