Titik Biru Pucat : Sebuah Introspeksi Untuk Kecongkakan Manusia
--
(Tulisan ini dibuat sebagai bentuk penghormatan saya kepada Carl Sagan dan bahan introspeksi untuk hal-hal yang kini membuat manusia semakin jauh dari fitrahnya sebagai pemelihara kedamaian di muka Bumi.)
Pada hari Valentine tahun 1990, wahana antariksa Voyager I yang tengah menjelajah alam semesta yang maha luas mendapat kiriman perintah dari pusat aktivitas NASA di Houston, Texas untuk memutar balik kameranya ke belakang. Tugasnya hanya satu : memotret planet Bumi dari jarak kurang lebih 6 miliar kilometer. Perintah tersebut adalah permintaan dari mendiang Carl Sagan, salah satu astronom terkemuka yang juga kolega dari Stephen Hawking.
Singkat cerita, foto pun dikirim ke bumi dan baru tiba pada pertengahan Mei 1990. Di foto, planet Bumi hampir tidak kelihatan dengan jelas karena ukurannya yang begitu kecil hingga bisa luput dari pengamatan kalau tidak dibubuhkan lingkaran penanda sepertifoto di atas.
Mungkin fotonya kelihatan biasa saja, tapi justru sangat membekas di benak Carl Sagan. Pemikirannya mengenai foto ini dituangkan dalam bukunya yang berjudul “Pale Blue Dot” (1994). Beliau menulis :
“Dari jarak sejauh ini, Bumi tidak lagi terlihat penting. Namun bagi kami (para astronom), lain lagi ceritanya. Tataplah lagi titik itu. Titik itulah yang dinamai ‘di sini.’ Itulah rumah. Itulah kita. Di satu titik itu semua orang yang kamu cintai, semua orang yang kamu kenal, semua orang yang pernah kamu dengar namanya, semua manusia yang pernah ada, menghabiskan hidup mereka. Segenap kebahagiaan dan penderitaan kita, ribuan agama, pemikiran, dan doktrin ekonomi yang merasa benar, setiap pemburu dan perambah, setiap pahlawan dan pengecut, setiap pembangun dan perusak peradaban, setiap raja dan petani, setiap pasangan muda yang jatuh cinta, setiap ibu dan ayah, anak yang bercita-cita tinggi, penemu dan penjelajah, setiap pengajar kebaikan, setiap politisi busuk, setiap “bintang pujaan”, setiap “pemimpin agung”, setiap orang suci dan pendosa sepanjang sejarah spesies manusia hidup di sana, di atas setitik debu yang melayang dalam seberkas sinar.
Bumi adalah panggung yang amat kecil di tengah luasnya arena kosmik. Renungkanlah sungai darah yang ditumpahkan para jenderal dan maharaja sehingga dalam keagungan dan kejayaan itu mereka dapat menjadi penguasa sementara di sebagian kecil dari titik itu. Renungkanlah kekejaman tanpa akhir yang dilakukan orang-orang di satu sudut titik ini terhadap orang-orang tak dikenal di sudut titik yang lain, betapa sering mereka salah paham, betapa siap mereka untuk membunuh satu sama lain, betapa bergejolak kebencian mereka. Sikap kita, keistimewaan kita yang semu, khayalan bahwa kita memiliki tempat penting di alam semesta ini, tidak berarti apa pun di hadapan setitik cahaya redup ini. Planet kita hanyalah sebutir debu yang kesepian di alam yang besar dan gelap. Dalam kebingungan kita, di tengah luasnya jagat raya ini, tiada tanda bahwa pertolongan akan datang dari tempat lain untuk menyelamatkan kita dari diri kita sendiri.
Bumi adalah satu-satunya dunia, sejauh ini, yang diketahui memiliki kehidupan. Tidak ada tempat lain, setidaknya sampai beberapa waktu ke depan, yang bisa dijadikan tempat tinggal. Ada yang bisa kita kunjungi, tetapi belum ada yang bisa kita tinggali. Suka atau tidak, untuk saat ini, Bumi adalah satu-satunya tempat kita hidup. Sering dikatakan bahwa astronomi adalah sebuah pengalaman yang menumbuhkan kerendahan hati dan membangun kepribadian. Mungkin tak ada yang dapat menunjukkan laknatnya kesombongan manusia secara lebih baik selain citra dunia kita yang mungil ini. Bagiku, gambar ini mempertegas tanggung jawab kita untuk bertindak lebih baik terhadap satu sama lain, dan menjaga serta merawat sang titik biru pucat, satu-satunya rumah yang kita kenal selama ini.”
Coba ingat kembali bagaimana keadaan kita akhir-akhir ini. Kebiadaban atas nama agama yang seharusnya mengajarkan kita kasih sayang, diskriminasi ras yang sesungguhnya hal yang tidak bisa dipilih sebelum lahir, perang di mana hanya mendatangkan kegetiran bagi mereka yang terperangkap tak berdaya di tengah-tengahnya, pemanasan global semakin gawat tapi ironisnya dianggap palsu belaka oleh seorang pemimpin negara yang memiliki rekam jejak buruk untuk masalah cara bertutur kata yang santun dan perlakuan terhadap perempuan.
Di titik itu kita menggantungkan nasib, harapan dan hidup. Rasanya terlalu naif dan bebal jika banyak dari kita yang merasa paling benar, paling berkuasa serta paling besar di titik pucat lagi kecil itu. Maka apa salahnya hidup dengan penuh kasih sayang dan cinta kasih di titik kecil itu, satu-satunya debu angkasa tempat kita tinggal?